Kita Pilih Diam

Ada sebuah kutipan,
Kesimpulan adalah tempat istirahat saat lelah berdebat.
Kadang, kita bahkan lupa beristirahat untuk mengambil kesimpulan. Kadang, mungkin satu-satunya jalan adalah berhenti di tengah aktivitas melelahkan itu. Menahan diri untuk tidak melukai. Tapi, kadang ada pula kalimat-kalimat yang kita buat, untuk menyimpulkan kepulan-kepulan buah pikir masing-masing kita.

Kita, nampaknya masih ragu-ragu untuk mengerahkan kesemuanya. Entah, sampai saat ini aku belum menemukan, mana yang lebih baik. Melupakan tempat peristirahatan itu, atau berdiskusi sampai memerah kulit kita.

Yang aku tahu, kita bercinta dengan cara mencoba mengerti satu sama lain. Kelamaan, tempat peristirahatan itu, akan kita temukan sendiri, seiring dengan perjalanan hidup kita. Tanpa kita tuju. Lembar-lembar hikmah berserakkan, karena panjatan doa. Walaupun tidak kita dapatkan beberapa kalimat untuk menyimpulkan, kita tahu, kita tidak terlalu ingin beristirahat. Kita hanya tidak mau lelah berdiskusi karena terlalu mencinta.

Kadangkala khilaf pernah kita lakukan, namun hanya penyesalan tak bertepi yang kita rasakan. Bukan hangat. Bukan tempat beristirahat. Bukan.

Ketika bagi sebagian orang, merasa puas dengan bertempur pada kekasihnya, kita memilih untuk saling diam dan mengerti. Kita bukan malu memperlihatkan hangatnya cinta, tapi kita bisa merasakan hangat ketika dalam dinginnya diam. Lalu lupa, dan saling memeluk, berciuman.

Suatu saat, permasalahan kita mungkin bukan hanya sekedar Bilangan Aljabar atau Pecahan, mungkin akan sampai pada Linear atau Kalkulus 4. Aku tidak tahu, apakah kita akan sampai membangun tempat istirahat baru atau kembali lupa dan berpelukan saja.

Sama seperti pertanyaan sulit ini, ketika kita mengenang masa awal-awal pernikahan kita.

Siapa yang lebih dulu menggerakkan kepalanya menuju ke bibir lain: kamu atau aku? Kita sama saling tunjuk. Saling tidak mengaku, malu-malu kemudian tertawa. Lalu berpelukan.
Nampaknya, aktivitas seru para politikus atau pengamat 'bayaran' disana, sampai juga ke kamar tidur kita. Bedanya, kita saling mencintai, mereka tidak. Mereka hanya mencintai dirinya saja.
Dan semoga memang, kita tidak akan berpisah meski kita akan melewati masa-masa sulit dimanapun kita berada, kecuali Alloh sudah sangat merindukan salah satu kita, atau keduanya.


Kisah diangkatnya Imam Masjidil Harom, As Sudais

Siapa yang tak mengenal Syeikh Abdurrahman As-Sudais. Ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkannya menjadi favorit sebagian besar kaum muslim di dunia. Dialah imam besar Masjidil Haram sekaligus hafidz yang begitu sederhana.
Pria kelahiran Riyadh, 53 tahun silam ini berhasil menghafal 30 Juz Al Qur’an pada usia 12 tahun. Lahir dan dibesarkan dari Bani Anza di kota Riyadh, beliau mengenyam pendidikan formal di mulai di Al-Munatha bin Harits, kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah Universtas Riyadh.
Beliau diangkat sebagai imam sekaligus khotib Masjidil Haram, Mekkah ketika beliau menjadi imam sholat Ashar pada tanggal 22 Sya’ban 1404 H (Rabu 23 Mei 1984). Kemudian beliau pun didapuk sebagai khotib pertama kalinya pada 15 Ramadhan 1404 H. Di tahun yang sama Syeikh Abdurrahman as-Sudais meraih gelar Master Degree, dengan predikatExcellent dari Fakultas Syari’ah Universitas Imam Muhammad bin Saud, Riyadh Arab Saudi.
Syekh Abdurrahman as–Sudais mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Universitas Ummul Qura’, Mekkah. Di universitas tua dan ternama ini pula beliau menyelesaikan program doktoralnya. Setelah menyandang gelar doktor, beliau pun diangkat menjadi dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Ummul Qura’.
Di balik pengangkatan beliau sebagai Imam Besar Masjidil Haram, rupanya tak banyak yang mengetahui kalau itu buah dari ‘kutukan’ sang ibunda. Ya, boleh jadi kisah ini sedikit menggelitik dan inilah tanda-tanda Kuasa Allah yang mengabulkan doa seorang ibu.
Ceritanya, kala itu Abdurrahman as–Sudais kecil tengah asyik bermain tanah. Di saat yang sama, sang ibu tengah menyiapkan jamuan makan untuk kolega sang ayah yang hendak bertandang ke rumah. Nah, ketika hidangan telah tersaji, namun karena para tamu belum datang, tiba-tiba tangan mungil Sudais kecil yang menggenggam tengah debu dengan asyiknya menaburkan ke atas makanan. Melihat kelakuan nakalnya itu, sontak membuat ibunya marah.
idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain (pergi kamu, biar kamu jadi Imam di Haramain),” kata ibunya dengan nada marah dan kesal.
Dan nyatanya, ucapan sang ibunda dikabulkan Allah. Entah apakah ini doa atau kutukan. Yang jelas, sejatinya sang ibunda beliau memang menginginkan anaknya menjadi orang yang bermanfaat bagi umat.
Syeikh Abdurrahman As-Sudais tak sekadar hafidz, tapi suaranya yang begitu indah saat melantunkan ayat suci Al-Qur’an mampu menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Terlebih bagi jamaah haji dan umrah yang tengah menunaikan ibadah di tanah suci Mekah. Berkat kemampuan yang dimilikinya itu, Pada tahun 2012 beliau pun dipercaya oleh Kerajaan Arab Saudi, untuk menjabat sebagai Kepala Dua Tanah Suci –yakni Makkah Al-Mukarromah dan Madinah Al-Munawarah— sebuah jabatan khusus setingkat menteri.

 (dari berbagai sumber)
 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon