Sahabat?

Tak cukup sebagai manusia yang individualis, setiap nyawa sejatinya membutuhkan orang lain. Memiliki kebutuhan bersosial. Tertakdir menjadi makhluk sosialis.

Interaksi diantara dua atau lebih manusia, membuat perasaan yang kuat antara satu dengan yang lain. Tidak, saya tidak akan berbicara tentang Cinta layaknya suami istri. Saya berbicara tentang perasaan kuat diantara anda dengan seseorang, yang mungkin secara langsung, maupun tidak, anda anggap sebagai, sahabat..

Dari semua hal baik, sepele, namun tanpa pamrih yang seseorang lakukan, beberapa orang belajar, tentang sebuah ketulusan. Tentang sesuatu yang dilakukan tanpa pamrih. Mungkin ada begitu banyak teman yang mereka punya, teman yang begitu dekat sekalipun. Namun hanya beberapa yang sebenarnya mereka tau pasti, bahwa orang orang tersebut, tulus. Tanpa pamrih.

ada kalanya mudah saja bagi beberapa orang, untuk menjabatkan predikat sahabat kepada orang lain. Dengan loyalitas dan rasa persaudaraan yang tinggi, mereka menganggap orang-orang tersebut, adalah orang-orang terbaik mereka. Hingga beberapa orang akhirnya terlalu banyak mengalami kejadian pahit. Yang membuat mereka belajar. Orang-orang tersebut tidak seperti yang mereka pikirkan. Beberapa dari orang orang tersebut, bahkan lebih menyakitkan dari seseorang yang membenci mereka. Mungkin beberapa orang pun tidak tulus juga, berharap orang orang tersebut seperti mereka. Beberapa orang tau. Tapi apakah saya tau rasanya patah? Ketika mencintai seseorang yang ternyata ditakdirkan untuk menggoreskan luka dihati saya?

Lalu tersadar, bahwa sahabat, tidak bisa dijabatkan. Tidak dapat direncanakan. Tidak perlu ditunjukkan. Tidak perlu diharapkan. Bahkan tidak butuh diijabkan untuk mengetahui bahwa mereka sah, menjadi sepasang sahabat. Tidak. Sehingga perasaan yang tertuang begitu halus, terbentuk dari ketulusan. Dari sebuah kecocokkan tanpa pamrih.

Tanpa sadar, beberapa orang mulai menarik diri dari mereka yang, dia pikir, mereka adalah seorang sahabat. Namun, tidak. Beberapa orang memutuskan berhenti mencintai mereka. Ya, beberapa orang menjadi egois. Beberapa orang hanya memikirkan keutuhan hatinya. Beberapa orang hanya tidak ingin hatinya digores-gores luka sesuka mereka.

Seharusnya sahabat memaafkan kesalahan sahabatnya.

Terlambat, beberapa orang sudah sampai pada suatu keputusan.

Tidak ada kata terlambat dalam permintaan maaf, terlebihbuntuk sahabat.

Tidak terlambat, beberapa orang pun memaafkan. Dan beberapa orang tersebut juga meminta maaf, bahwa hatinya sudah terlalu rapuh, untuk harus kuat menjadi seseorang yang menyayangi seseorang yang mungkin tidak menyayanginya.

Beberapa orang berjanji akan tetap menjadi baik. Tetap menjadi dia yang mereka tahu, kebaikkannya, ketulusannya, keceriannya. Tapi tidak pada hatinyavyang beku. Tidak untuk semua rasa tulus yang dia miliki.

Beberapa orang hanya berusaha menjadi manusia yang baik sesuai tuntunan kepada mereka yang membuat hati patah.

Beberapa orang percaya, ketulusan akan mengalir dan bermuara pada suatu ketulusan. Buih ketulusan-ketulusan telah menantinya dihulu. Dan mereka akan bertemu, pada saat yang tidak diduga, tidak direncanakan, tidak dibatasi ego dan keperluan.

Mereka membaur, berarak, bercampur, beriak, alami dan membahagiakan.

Tadi Siang

Pepatah, kembang gula-kah? Seplastik manisan? Atau semangkuk es Dawet Ayu? Tidak. Setidaknya, tidak bagi aku. Bagi kami. Pemikiran yang dalam, kesimpulan yang singkat namun padat arti.

Lagi, pepatah bukan hanya segelintir kalimat manis yang kemudian diniatkan untuk menambah semangat pembacanya. Lebih dalam, kalimatnya diramu dari pengalaman pahit. Sepahit jamu yang kemudian menyehatkan. Pun kebijakan, ia bukan hanya tetiba turun dari langit dan menjadikan seseorang bijak. Butuh jatuh yang teramat sakit. Terpuruk hingga hampir habis nafas. Hingga akhirnya bisa merasa manisnya berenang-renang ketepian. Mungkin hal ini yang menjadikan kami cocok, begitu cocok membicarakan segala hal dengan dalam. Iya, aku dan Mbak Murti. Mungkin orang terheran-heran melihat kedekatan kami, yang, yah, bisa kubilang terlalu dekat. Namun, tidak juga berlebihan, kami hanya membicarakan, apapun saat jam makan siang. Membicarakannya lebih dalam, jauh hingga ke sari-sarinya. Menebak-nebak, menggunakan logika berpikir secara penuh, berhati-hati dalam spekulasi, mengumpulkan data dan bukti hingga berani berargumen. Aku menikmati waktu-waktu tersebut. Kami bukan detektif. Kami hanya penasaran dengan segala hal. Kami hanya selalu mencari jawaban atas tingkah laku atau setiap kejadian. Mungkin kami gila. Ah, tidak juga. Kami hanya terus mengasah logika berpikir kami. Menyambungkannya kepada data-data yang terlihat. Bersyukur. Meresapi keindahan islam, didalam setiap kejadian. Aku, saat ini menuju usia 23. Dan dia, terpaut 8-10 tahun diatasku. Tidak tau pastinya, karena dia tidak pernah memberitahuku. Dan aku tak berani pula menanyakannya. Takut tersinggung. Sepele. Tapi menjaga hati lebih baik, bukan? J

Hari-hari kami biasa, bercanda tawa, mengejek diri sendiri, mengolok satu sama lain, melakukan pembenaran, kemudian menyadari kesalahan. Menarik saja buatku. Berbincang dengannya terasa tak pernah membosankan, karena terlalu banyak hal yang bisa aku ambil. Terlalu banyak yang bisa aku share. Terlalu banyak hal yang aku dapati saripati-nya. Selain usianya yang begitu jauh, wawasannya yang luas, pengetahuannya tentang sastra, filsafat, dan islam, membuat kami menjadi satu paket yang kalau sudah nyerocos, tak bisa berhenti. Tentang, film, buku, syariat, kelakuan temanku, temannya, pengalaman hidupnya, pengalaman hidupku, cerita remeh temeh di departmentnya, di departmentku, banyak! Seru sekali. Belakangan, dia menjadi begitu ekspresif, entah aku yang baru tahu, atau dia yang terpengaruh gaya bercerita aku. Kami menikmatinya.

Agak mengerikan mungkin, tapi sungguh, kami berdua normal. Hahahaha. Kami normal, dan bercita-cita menikah secepatnya, menjadi wanita sholihah yang melayani suami dan fokus menjadi mentor anak-anak, kuliah hingga S2, wisuda saat hamil anak kedua, menjadi perempuan cerdas yang diniatkan untuk memajukan peradaban. Haha! Mimpi kami tinggi tapi belum ada yang kami capai. Kami senang bermimpi. Kami senang berpikir.

Dari Mbak Murti, aku menemukan pepatah-pepatah hidup, kebijakan-kebijakan, pemikiran yang dalam dan berarti, disamping karena aku mulai menjalani hobi membaca-ku dengan giat lagi tentunya, tapi setiap apa yang aku baca, selalu aku bahas dan aku pertanyakan dengannya. Jarak usia yang begitu jauh, nyatanya tidak membuatku nampak seperti anak kecil yang merengek kepada induknya. Kami terlihat seperti satu tim. Saling bekerja sama dalam menyimpulkan sesuatu. Terlebih, dia tidak menganggapku anak kecil. Kami setara, pun pemikiran kami saling melengkapi. Aku tersanjung. Aku menikmati alur cerita persahabatan kami. Kami berbeda, ya, aku islam, dengan fanatisme yang kuat kepada satu yang kuyakini, pun dia. Namun kami saling menghargai, menghormati keislaman kami masing-masing.

Beberapa hari ini kami sedang asik membicarakan Dewi Lestari, tentang bahasa sastranya, plantanismenya, juga para kaum feminisme, para kapitalis, sejarah Hari Kartini, hahaa iya, agak berat, tapi aku suka!

Tadi siang, aku ditraktir Burger King dengan Voucher MAP. Kami sudah janjian, akhir Bulan yang tragis ini mau makan enak dengan gratisan. Yah, akhirnya biaya makan siang kami mencapai 100k lebih disaat krisis. Hahaa. Akan aku bayar traktiran ini, Mbak. Ingat itu! Hehehehehh. Pembicaraan kami siang tadi tentang Black Swan, dan kaum feminism. Seru! X’D

Isi Kepala session 1

Saat itu saya juga pernah berpikir bahwa, apa sih orang-orang ini, terlalu mengejar dunia. Kepada mereka yang mengaji Al-quran dan Alhadist secara berjamaah namun, sangat giat mencari dunia. Well, hal ini sangatlah lumrah bagi saya yang tiga tahun terpenjara suci dalam sebuah lingkungan yang biasa disebut dengan pesantren. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk membentuk pribadi, pola pikir, karakter, attitude dan mengisi kekosongan ilmu pastinya. Banyak sekali manfaat yang saya dapat, dimana anak-anak lain seusia saya yang diluar lingkungan pesantren tersebut gak akan pernah dapatkan apa yang sudah saya dapat disini.

Pertama, mungkin saya akan bercerita sedikit tentang diri saya waktu masih duduk dibangku SMP. Saya bersekolah di SMPN 2 Depok. SMP Negeri favorit Depok. Yang ujian masuknya aja, katakanlah ‘naujubileh’. Anak-anak usia pelajar begitu membludak di Depok. Sekolahnya terbatas. Jadilah,sekolah favorit adalah ajang adu otak dari sekian ribu pendaftar. Disana saya hanya sebatas butiran debu *halah* :P yes, gak terkenal sama sekali. Yah, hanya cukup aktif, dikelas. Ikut organisasi pengurus kelas gitu maksudnya? Haha! masuk 10 besar di tiap semester, tapi bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Minder. Kuper-kurang pergaulan. Introvert. Pulang sekolah langsung pulang gapake nongkrong. Tertib. Taat peraturan sekolah, takut sih lebih tepatnya.hehehek. Tergolong anak yang sangat pintar, tidak. Jauh malah. Tergolong anak yang banyak prestasi juga tidak. Boro-boro berprestasi, ikut lomba pun gak pernah. Hanya anak-anak yang prestasinya masih terbilang lumayan, jika diantara 43-45 orang siswa dikelasnya. Saya lulus, tidak meninggalkan apa-apa. Bekas setitik penghargaan pun untuk SMP saya. Saya lulus, ya lulus saja, sudah. Punya beberapa teman akrab, tergantung kelasnya. Setiap semester kelas berubah. Setiap semester pula teman dekat saya berubah.

Kemudian, Gadingmangu, Jombang. Pesantren itu. Yang memberikan banyak manfaat untuk saya. Saya anak baru. Telat daftar. Baru masuk sekolah setelah sekolah sudah 2 minggu berjalan. Mudah saja saya menjadi terkenal, karena saya anak baru. Singkat cerita, saya aktif dikelas, saya berprestasi, saya pernah mendapat peringkat pertama. Senangnya bukan kepalang! Saya mulai aktif di organisasi. Saya sering ikut lomba. Saya menang lomba Mading, lomba debat antar kelas. Teman-teman saya orang-orang ‘keren’ pula. Saya …, dengan seluruh kerendahan hati saya, persilahkan saya mengatakan, saya pernah menjadi ‘bintang’ di SMA. Gak kenal saya? Wah, anda kurang gaul, bung. Hahahahaha. #okeskip.bukan itu pointnya, pointnya adalah pesantren sangat banyak membentuk pribadi, karakter, pola pikir, paradigma, keimanan saya sampai saat ini. Sangat bermanfaat, lebih dari sekedar menjadi ‘bintang’ saya banyak sekali belajar tentang kehidupan disana. .

Sekarang saya suka mencoba mengerti kenapa orang tersebut bersikap A, padahal menurut saya sebaiknya B ternyata karena latar belakang kepribadian, pola pikirnya. Saya mulai bisa menimbang-nimbang, apa yang akan dilakukan si introvert atau si extrovert kalau ada kejadian seperti ini. Karena saya pernah mengalami dua kepribadian tersebut. Apa yang akan dipikirkan oleh si ‘butiran debu’ dan si ‘bintang sekolah’ jika ada dalam posisi ini. Saya meraba-raba. Merasa tahu, walaupun mungkin tidak selalu tepat. Tapi saya merasa diri ini menjadi kaya karena semasa hidup saya pernah melewati dua fase tersebut. Saya akhirnya juga mengerti, kenapa orang-oranag jaman sekarang menganggap kesalahan besar, menjadi kecil. Atau sebaliknya, kesalahan kecil, menjadi sangat besar. Karena saya pernah tinggal di dua atmosfer yang berbeda, didalam pondok dan diluar pondok. Didalam, kesemua hal mengenai dosa menjadi terlihat sangat besar dan memalukan, amalan kecil menjadi terlihat besar, dan sekarang (diluar pondok) amalan besar pun, malah terlihat remeh. Memakai kerudung menutupi dada, contoh mudahnya. Itu amalan wajib. Tapi kemudian begitu remeh disini. Dikota saya sekarang tinggal. Dulu, jangankan remeh, menyelempangkan sedikit saja kain kerudung anda, anda akan di cap negative oleh hamper seluruh penghuni ponpes. Kejam sekali. Kemudian sekarang tinggal di luar pesantren, saya mengerti fenomena serta sebab-akibat yang terjadi di sekitar saya. Saya tidak mengklaim diri saya lebih tau dan lebih hebat. Saya hanya merasa, paradigma saya menjadi luas. Toleransi saya menjadi lebih besar, terhadap kesalahan, kesalahan setiap orang. Mereka punya alasan dan latar belakang kenapa mereka melakukan hal tersebut. Kesalahan tersebut tidak benar, bukan berarti saya membenarkan kesalahan tersebut, tetapi saya mulai bisa mengerti sebab apa orang-orang melakukan kesalahan atau tindak tanduk seperti itu, seperti itu. Dulu, mungkin hitam tetaplah hitam, putih tetaplah putih. Karena lingkungan mendukung untuk tetap menghitamkan si hitam. Dan memutihkan si putih. Sekarang, semua abu-abu. Ke-idealisme-an saya dahulu, dan (menurut saya) kekolot-an saya tentang cara berpikir dari doktrin-doktrin yang setiap hari diberikan mengenai akhirot lebih penting, (yang bahkan benar-benar menyepelekan urusan dunia, sekolah contohnya) membuat saya semakin antipati tentang semua hal yang berbau ‘mengejar dunia’. Seseram itu? Iya. Sesering itu di doktrin, bahkan di praktekkan, bahwa dunia tak lebih dari sebelah sayap nyamuk? Iya. Ada beberapa guru yang masih netral dan masih memberikan semangat bahwa dunia its still important, hey dude. How can you exist in this era, if you just doing nothing for your self. For this life. Yang mana kita tinggal, berteduh, menumpang di sini (dunia) untuk menabung amal agar bahagia di akhirot nanti. Dan menabung amal, butuh uang. Butuh potensi. Butuh ‘kecerdasan dunia’ untuk memperjuangkannya.

Kuliah, bekerja, saya semakin tumbuh. Semakin dewasa. Saya belajar lagi bahwa hidup, tidak selalu hitam dan tidak selalu putih. Tidak berarti saya membenarkan si hitam dan menyalahkan si putih. Tapi ketika hitam, maka mungkin sekali menjadi putih. Dan ketika putih, bukan tidak mungkin juga tanpa kecacatan si hitam. Dunia punya rahasia tentang pribadi setiap mahkluk yang tinggal di dalamnya. Saat ini anda berdosa, besok anda meleburnya dengan beristigfar. Sekarang anda beramal sholih sangat besar, besok lebur karena membicarakan orang lain. Ya, akhirnya dunia sekompleks itu. Serumit itu. Tidak semudah, anda berdosa karena anda blablabla. Anda termasuk golongan orang-orang shalih karena anda beramal blablabla. Tidak. Anda tidak mungkin tau amal dan dosa seseorang. Malaikatpun tidak memiliki garansi bahwa hitungannya akan tepat. Ada faktor hati, yang bisa membuat seseorang sombong dan berharap pujian. Atau tulus, mengharap ridhonya saja. Ada hati yang benar-benar bertaubat lagi takut. Dan karena hati pula, yang bertaubat demi mendapat ampunan-sejenak, dan berniat melakukannya kembali, karena menghapus dosanya sangatlah mudah. Manusia bisa saja menilaimu sangat baik, malaikat bisa saja kau tipu, tapi Alloh tak bisa kau curangi. Hati, hanya dia yang mengerti. Hati-hatilah terhadap hati. ia begitu cepat berubahnya, lebih cepat daripada air yang dimasak hingga mendidih.

Pemikiran kolot mengenai ‘mengejar dunia’ pun berubah. Dialah Papa yang terus mengajarkan aku tentang kehidupan. Bersyukur dengan sangat kepada Alloh, ditakdirkan menjadi seorang anak perempuan dari Bapak Irvaizal. Beliau mungkin tidak meninggalkan harta yang seberapa untuk anak-anaknya, beliau mungkin tidak menjanjikan kemewahan hidup untuk dijalani kemarin, saat ini dan nanti, tapi beliau mengajarkan aku tentang hidup. Tentang keseimbangan hidup. Tentang mengantisipasi hidup. Tentang menjalani kehidupan. Tentang bersyukur atas apa saja yang disajikan oleh kehidupan. Satu pesannya, “setiap orang punya jalur perjuangannya masing-masing. Tidak bisa si paspasan yang banyak ilmu menyuruh si kaya supaya terus mengaji yang sangat rajin diatas rata-rata orang sekitar, seperti si miskin. Si kaya mungkin Alloh kodar waktu longgarnya sedikit, tapi ia mampu bershodakoh yang besar, ya lakukan saja. Itu termasuk jalan perjuangan juga. Tidak bisa si pendiam menyuruh si aktif terus mengaji mengikuti peraturan yang ada, karena si aktif punya jalur perjuangan lain yakni membuat acara-acara yang ditujukan utk melestarikan Quran Hadist. Tapi tetap, dengan sesuai syariatnya. Sesuai perijinannya. System yang sudah ada tidak bisa dilanggar, tapi bisa disesuaikan dengan objek yang menjadi bagian dari system. Si kurang pintar tidak bisa menyuruh si pintar untuk melakukan sesuatu yang dibawah kualitas pemikirannya. Justru si pintar punya jalur perjuangan dari cara berpikirnya. Agama membutuhkannya. Semuanya, memiliki jalan perjuangannya masing-masing, amalan andalan masing-masing, termasuk kesalahan masing masing. Maka seimbanglah dunia. Seimbanglah jalan perjuangan. Seimbanglah kesalahan dengan amal baik. Seimbanglah kecerdasan dengan ke-kurang cerdas-an. Seimbanglah si kaya dengan si paspasan. Atmosfer dunia seimbang. Sinerjikan harmoni. Hindarkan perbedaan, atau malah memaksa sebuah kesamaan yang sejatinya semua makhluk itu sudah dicetak berbeda dari Penciptanya.

Utang Mawar untuk isi Keranjang

Akumasih banyak utang cerita buat numpukkin Mawar di keranjang. Iya, aku tau aku sok sibuk. Makanya, aku mau minta maaf. Kayaknya aku perlu listing daftar tulisan yang aku harus tulis, sih. Biar gak lupa. Dan semoga sih selalu ‘ketampar’ waktu baca posting ini.

Aku belom nerusin holiday part 3. Yang di Anyer ituh. Jaman 2011 deh kalo gak salah. Oke, daripada menceracau terus terus, lebih baik kita listing sekarang. .

1. Holiday part 3
2. Cinta Pertama part 3
3. Exelence Apprentice
4. Mendadak Bandung – Goa Jepang, Belanda.
5. Bandung, Tangkuban Perahu
6. CAI Mahasiswa 2012
7. Ketika geng Jomblo kumpul!
8. Pembekalan siswa siswi Karawang 2013
9. Pembubaran sekaligus pembuatan Panitia baru di Ciawi
10. Di traktir anak Apprentice, Permanent!
11. XL Finance Harlem Shake
12. Report 1 – Presentation Session Apprenticeship
13. Food Combining :P:P:P
14. Perpisahan Ketua Kelas Batch 8, go abroad Taiwan! :’D
15. Listing buku-buku yang masih nganggur belom dibaca
16. Di Prospek temen kantor ikutan Pru(dential)
17. Pernikahan Teteh
18. Jenguk Angga – Jalan-jalan ke taman surga
19. Review buku Madre
20. Review buku Rectoverso
21. Review bukuUdah Putusin Aja - Felix Siauw
22. Mendadak pindah kos (Balik lagi kerumah ding)
23. Ah, masih banyak tapi aku lupa mau nulis apa ajah.
Yaudah deh, segini dulu aja. Itu aja belom tentu ketulis semua kan? Heuheu. Ampun lah, mudah-mudahan ada saatnya gak sibuk, dan bisa nulis itu semua. Aamiin. Jadi ini blog isinya gak curhat melulu *padahal tiap postingan ada sesi curhatnya* hheu. Maap :P
 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon