How Do We Gonna Raise Our Kids (Part I)




Sejak tau kehamilan abang (biasa di blog panggil bibiq ya, sekarang ganti abang aja. Karena sekomplek kenalnya teh -> abang haha), perasaan saya campur aduk. Iya, ada senangnya, pasti lah. Tapi nggak ya berbunga-bunga seperti para orang tua yang sedang menantikan seorang anak, saya lebih banyak kaget sama takutnya. Saya hamil di bulan ke 2 pernikahan, yang tanpa rencana. Karena saya anaknya mah prepared gitu, walaupun nggak well prepared banget, jadinya lumayan syok pertama kali tau diri ini hamil lewat testpack. "Duh, bisa nggak nih ngerawatnya, aku belum belajar apa-apa menjadi orang tua, juga belum belajar tentang kehamilan etc etc. AKK! Akhirnya? Ya dijalanin aja lah, belajarnya, ngitung-ngitung dana melahirkan, dana pendidikan dan sebagainya.

Betapa banyak remaja yang katanya salepgram itu, jauh dari kebaikan, dan sedang menjalani pergaulan yang mengerikan. Salah satu aspek yang mungkin saja berkontribusi atas hal tersebut adalah orang tua mereka tidak dapat menjadi sahabat yang baik bagi mereka.

So, here it is, how do we gonna raise our kids, btw:

1.  Berusaha untuk menghargai dan menerima mereka seutuhnya.

Setiap anak itu unik. Apapun yang ada di dalam dirinya, termasuk tumbuh kembangnya.

"Hidung bapaknya ya?" Lalu mereka tertawa. Hidung ibunya mancung, jadi disalahkan lah bapaknya yang tidak mancung sehingga anaknya hidungnya "begitu".
"Duh, kasian dapet kulit ibunya." Kulit bapaknya putih, ibunya eksotis.

Familiar ya dengan hal ini? Ibu-ibu di negara kita tercinta emang suka keterlaluan sih, mulutnya. Ibu baru lahir, berjuang setengah hidup setengah mati, eh anaknya dikomentarin orang yang kita minta makan sama dia aja, nggak. Please..

Saya nggak mau bilang, buibu kunci mulut. Jenguk bayi baru lahir bisa nggak sih ngobrolin yang enak-enak aja? Enggak. Udah banyak artikel yang nyuruh gini, saya mau cheer me up yang anaknya (pernah) dikomentarin sama orang lain. Saya akan tetap menerima anak saya seutuhnya, tidak perduli orang lain komentar apa. Saya nggak merasa lebih mulia ketika anak saya berkulit putih, berhidung mancung, berambut lebat, berparas cantik/tampan, berbadan gemuk. So? Apakah dengan kelebihan yang Allah berikan tersebut kemudian anak saya dijamin jadi anak sholih/sholihah? Dijamin masuk surga? Kan, tidak. Jadi, bersyukur dan biasa aja ketika diberi kelebihan, tetap menerima dan bersyukur ketika diberi kekurangan.

Begitupun masalah tumbuh kembang anak, Abang terbilang "agak telat" jalannya, sekitar 14++bulan baru mau berdiri sendiri lalu melangkah. Sebelum-sebelumnya, di-berdiri-in dulu baru mau jalan selangkah dua langkah. Sempat khawatir kok agak lama proses jalannya ya, tapi Alhamdulillah Allah selalu kasih ketenangan-ketenanganNya ke saya lewat orang-orang yang cerita kalau anaknya baru bisa jalan usia 18bulan, usia 22bulan, lalu saya menerima anak saya seutuhnya, memang tumbuh kembangnya berbeda dengan yang lain. Dan belum ada yang perlu di khawatirkan sejauh yang saya ketahui. Selama tidak terlihat tanda-tanda yang mengkhawatirkan, ya, tidak perlu khawatir. 

Menerima seutuhnya bukan berarti tidak perduli sama sekali, menerima seutuhnya adalah juga belajar dan berusaha sebanyak-banyaknya.


2. Takut dan tidak bisa

Sejauh ini saya belum pernah mengajari kata "takut" dan saya tidak pernah menakut-nakuti, tapi kelak mungkin rasa takut itu akan berkembang seiring pengetahuan dan kosakatanya. 

Kemudian sampailah saya dengar si abang bilang, "ma mauuu, mamauu. (gak mau) Tatut.." 

Jrenggg...
Belajar darimanakah dia tentang kata takut?
Dari tantenya. Dan tantenya menakut-nakuti juga, disuruh pegang danbo, tapi abang nggak mau, terus dijejel-jejelin.
Kesel? Yaiyalah. Untuk hal-hal yang nggak sesuai konsep pengasuhan saya, lalu diinstalkan tanpa sengaja ke otak anak saya, ya bawaannya jadi kesel. Makanya sampai saat ini saya masih memutuskan untuk nggak bisa nitip-nitip anak, lalu saya bekerja. Kapok :'(

Ketika abang bilang "tatut", saya memutar otak, apa yang harus saya fight back agar otaknya kembali "benar" sesuai yang saya inginkan. Reverse to "baik". Akhirnya saya bilang, "tidak apa-apa, ini danbo baik. Haay? Hay danboo. Hay abang? Tuh baik kan danbo-nya". Mulanya memang dia masih kekeuh tidak mau pegang, takut. Entah takut apa-nya. Tapi saya terus coba meyakinkannya. Hingga sampai akhirnya dia berani sentuh, pegang dan sekarang udah dimainin danbo-nya, sambil ngoceh-ngoceh sendiri.

Begitu pula dengan kata-kata: "Susah!" ini siapa yang ngajarin? Ya saya lah hahaha. Abang suka minta buka-in sesuatu, apa saja. Bahaya atau tidak, selalu minta di-buka-kan benda-benda yang ada tutupnya. Jadi ya, cara saya supaya dia gak mainan hal-hal yang berbahaya, seperti tempat jarum pentul, misalnya. Saya akan bilang, "uuu susah, susah dibukanya" lalu terserap lah kata tersebut ketika dia bermain apa saja dan tidak bisa menyelesaikannya, dia akan cranky sambil bilang "cucaaah~"

Kalau sebenernya dia bisa melakukan sesuatu itu dan hanya kurang usaha, saya dan abihnya pasti bilang: "Bisaa, ayo coba terus. Sedikit lagi, yak yak sedikit lagi, bisa"

Walaupun butuh waktu agak lama untuk akhirnya dia bisa menyelesaikannya, tapi 'kan saya memang harus tetap menanamkan hal-hal positif serta menguatkan kepercayaannya untuk mengerjakan sesuatu sampai batas usaha maksimal sehingga ia kelak menjadi orang yang tidak mudah menyerah.

3. Rasa ingin tahu dan sabar

Sebagaimana anak lelaki pada umumnya, yang katanya lebih aktif, lebih heboh, lebih gratak. Hal itu juga terjadi pada hidup saya. Iya, abang adalah type penjelajah. Bisa duduk anteng 2 menit aja di pengajian merupakan suatu prestasik. Walaupun rumah kami yang typenya 4L, lu lagi lu lagi, abang akan tetap menjelajah kesana kemari, bongkar sana bongkar sini, full energy sampai akhirnya dia ngantuk dan minta ng-ASI. Saya biasanya nggak emosi kalau dia ngegeratak tapi anteng, tapi kalau cranky nggak jelas maunya apa udah dikasih ini itu tetep rewel juga, jadilah kesulut juga emosi saya. 

Nah, karena saya ingin memenuhi rasa ingin tahu dia, maka type rumah saya akan agak rapih kalo ada tamu aja. Saya belajar untuk tidak menjadi orang tua yang sedikit-sedikit nggak boleh, dengan alasan berantakan. Dan memang untuk sering membolehkan anak mengeksplorasi lingkungannya ternyata butuh kesabaran ekstra. Saya sedang dan akan terus belajar tentang sabar, ini. 

4. Berpikir, memilih, mengambil keputusan.

Sejak abang sudah bisa berbicara lumayan bisa dimengerti ibunya, saya selalu berusaha memberikan dia sebuah pilihan. Mau baca buku yang mana? Mau dikamar atau keluar? Mau bobo atau main? Mau balon warna apa?

Dan kalau udah dikasih pilihan, lalu pilihannya tidak seperti yang ia butuhkan, maka saya akan tanya lagi, kenapa mau main? Kan abang sudah mengantuk. Bobo saja, ya? Abang sudah mengantuk. Biasanya kalau memang dia mengantuk, dia akan nurut. Kalau nggak ngantuk? Dia akan cranky dan menidurkan anak yang lagi nggak ngantuk itu melelahkan, ya bok. Mending turutin lah keinginannya, main dulu sampai lelah dan mengantuk dengan sendirinya.

Kalau pilihannya masalah warna atau sebatas sesuatu yang so so, saya akan menuruti pilihannya. Kalau tidak sesuai keadaan atau kebutuhan, saya akan tanya balik. Mengajak ia berpikir ulang. Saya belum terlalu mengerti sih, apakah akan berpengaruh atau tidak dengan tumbuh kembang kemampuan berpikir dan mengambil keputusannya sekarang, tapi berkomunikasi dengan cara memanusiakan anak saya, insyaAllah ada pengaruhnya, kelak. 

But so far, it works.. Abang memang sudah sering diajak berkomunikasi sejak bayi. Iya, sejak bayi abihnya suka ngajak ngobrol, ngobrolin apa saja. Panjang lebar, nggak cuma ci-luk-ba aja, seringnya malah seperti cerita kadang seperti meminta pendapat juga. Sehingga Alhamdulillah, tabarokalloh sekarang abang sudah bisa mengkomunikasikan sesuatu yang dia atau orang lain rasakan, seperti sakit, susah, takut, pup, nangis, mau, sudah, tidak mau, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangat membantu anak untuk tidak tantrum, karena apa yang dia rasakan bisa segera ditangani oleh orang tuanya.

Intinya sih, saya ingin Abang bisa berpikir sebelum memilih dan mengambil keputusan, bisa tau apa yang dia inginkan lalu mengungkapkannya dengan baik, sambil menerima atau menyaring masukan dari orang lain. Tentu saja ini adalah salah satu cara untuk survive dalam hidup.

5. Bercerita

Menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk bercerita, berhubung ngocehnya udah lumayan, abang udah bisa cerita walaupun yang dimengerti emaknya masih beberapa kata tapi tetep nggak boleh dicuekin, ya kan? Jadi dengarkanlah dengan mengikuti antusiasnya serta penuh perhatian. Mudah-mudahan kelak dia pun senantiasa merindukan masa untuk bercerita kepada orang tuanya pada saat beranjak dewasa.

6. Peluk sayang yang ditunjukkan

Saya nggak mau keluarga saya sayang dalam diam, kangen dalam diam, cinta dalam diam. Emangnya jodoh yang belom halal? EAA.

Kalau sayang ya bilang, kalau kangen ya bilang. Kalau sayang, ya peluk. Lakukan, ucapkan. Jangan diem aja. Jadi setiap mau berangkat atau pulang kantor, salim sama abih, cium-cium pipi abang. Saya sering bilang, i love you abang. Nanti dia ngikutin, ayeyu. Sekarang mungkin belum ngerti, tapi akan tetap saya lakukan terus. Kelak, ia akan mengerti. Begitupun komunikasi dengan suami saya. Kami ingin keluarga ini terbuka dan mengapresiasi perasaan yang ada.

Randomly, abihnya sering banget minta cium. "Sabiq cium abih, dong" Atau sering nyuruh "sayang amih, sayang amih", lalu abang elus-elus emaknya yang babak belur nungguin dia belom tidur-tidur padahal udah jam 9, karena dia baru bangun tidur sore jam 7 malem. *melting*

Saya juga type orang yang ekspresif, jadi seneng meluk atau dipeluk, apalagi peluk anak sama suami sendiri ya, kan. Terutama setelah marah/kelepasan emosi ke abang. Saya akan meminta maaf lalu minta peluk.

Untuk sayang ke anak yang lebih kecil, juga masih diajari walaupun kadang anaknya suka gemes. Tapi sekarang lebih terkontrol sih, kalau liat bayi atau anak yang lebih kecil dari dekat suka reflek bilang sayang-sayang sambil mau elus.

Bersambung...

Masih banyak sebenernya, sih. Pengen buat sekuelnya, nanti. Hehehe.

Sepertinya seru, mudah dan menyenangkan ya? Nggaak. Hahaha. Semuanya itu nggak mudah. Melelahkan, baik fisik dan mental. Makanya suka sebel liat orang yang kalo dengerin presentasi, seminar, nasehat tentang parenting terus bilang "udah tau", "udah ngerti", "udah biasa itu mah", "emang seharusnya begitu, kan?" 
Yaampon buibu, yang udah punya anak pun yang belom punya anak, emang anaknya udah sehebat apa sik, bisa ngomong gitu? Kalo merawat dan mendidik anak, mudah mah hadiahnya kipas angin ya bu, bukan anak sholih sholihah. Nggak akan nempel suatu ilmu kalo kita sudah meremehkan ilmu tersebut sejak awal. Jadi please lah dengerin, resapi dan hayati. Kita manusia yang suka khilaf dan lupa, lewat mereka lah kita bisa selalu diingatkan.
Anyway, tetap semangat mommies! Salam cinta kasih~ 
Aand, how do you gonna raise your kids? Share with me, please :)

 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon