SERUNYA NIKAH MUDA (?)


Spoiler: Very Long Post. Gak terbiasa membaca? Saya sarankan close tab sajah, daripada mual :)))

Beberapa waktu lalu, timeline ramai tentang pernikahan Alvin-Larissa (Iya yang anaknya Ust. Arifin Ilham itu lhooo. Yang jadi selebgram jugak. Wk). Ada yang pro, ada yang kontra. Sorry, for that (toooo) late, tapi saya ingin mengeluarkan sedikit (tapi panjang. EHE) uneg-uneg saya. Boleh ya? Boleh plis.

Definisi muda yang dipakai negara adalah usia yang belum cukup umur / belum memenuhi ketentuan usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Tapi bagi saya, definisi muda disini, adalah menikah dibawah usia 22 tahun baik bagi laki-lakinya, dan nikah dibawah usia 21 tahun untuk perempuannya.

Kenapa saya ambil sample di batas usia tersebut? Karena menurut ilmu kesehatan (yang pernah saya baca, koreksi bila salah), di batas usia masing-masing diatas, organ reproduksi laki-laki dan perempuan baru mencapai kesempurnaan dalam perkembangannya.

Disclaimer: Sharing santai menurut pemikiran saya ya. Artinya kalau kalian ada yang nggak setuju dan punya pendapat sendiri, ya silahkan saja. Tidak ada paksaan bahwa pemikiran saya lah yang benar, setuju yes?

Saya sebagai perempuan Indonesia, menikah di usia terbilang proposional, versi orang tua modern jaman dulu. 24 Tahun. Gak muda, gak juga tua. Pas-lah. Ya kan? Coba tanya orang tua masing-masing, berapa usia yang pas buat menikah? LOL.

Dulu, sempat kepikiran ingin menikah muda. Entah kenapa angka 21 indah sekali jika dilalui dengan pernikahan. Lelah aja gitu kan hayati jomblo 21 tahun. 

YEKAN? X'D

Pengenlah hidup berdampingan dengan imam, disayang-sayang suami dan bisa cepat punya anak sehingga umur anaknya tidak akan jauh karena saya masih muda. Jadilah kita gaul bareng. 

Lah?!

Kemudian disaat saya kuliah, kok ya ada aja yang propose ke saya secara serius. Makinlah galaauu. Mana kondisi laki-lakinya yang modelnya gabisa ditolak; -> faham agama, mapan, baik, berakhlakul karimah, contoh: kerja di perusahaan oil and gas, tampang lumayan, keluarga baik-baik, ketua remaja masjid di daerahnya, yang insyaAlloh agamanya baik, dan emang lah insyaAlloh baik. Kalo gak baik kan ngajaknya pacaran ya, ini kan ngajaknya nikah. Nikah siiiis, nikah. Di saat saya semester 3, atau usianya masih 19 tahun. NGERTI KAN YA GALAUNYA KAYAK APA. WHOAH :O

Tapi orang tua saya selalu beri saya insight tentang pernikahan, kami melakukan komunikasi yang mungkin tidak juga dibilang sempurna, tapi cukup membekali saya untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan. Disamping doa dan istikhoroh juga utamanya (InsyaAlloh will be post ya cerita tentang bagaimana saya menanggapi lamaran beberapa pria, mudah-mudahan banyak manfaatnya :* *ketjup ). 

Kemudian saya melanjutkan kuliah sambil bekerja, lelah tapi waktu saya sangat efektif, waktu saya habis buat hal-hal produktif. Lalu lulus sarjana, pindah kerja ke tempat yang prestisius daerah mentereng di bilangan Jakarta Selatan, sibuk di organisasi kepemudaan dan remaja masjid dan wow ALHAMDULILLAH YA KEMAREN BELOM NIKAH, JADI SAYA MELEWATI MASA MUDA SAYA DENGAN MAKSIMAAL sebagai gadis muda yang produktif. and im really happy for that. Alhamdulillah. Ehehehe :'D

Saya tidak menyesal tidak jadi nikah muda, walaupun kesempatan itu bisa saja saya ambil, namun takdir berkata lain. Karena kalau dipikir-pikir, saat ini saya sedang menjalani peran ibu, dan istri tentunya, banyaaaaaak hal yang mungkin perlu saya pikirkan berjuta-juta kali jika ingin melakukan aktivitas-aktivitas disaat saya muda (baca: belom nikah) dulu.

Lembur di kantor sampai jam 12 malam, entah ngerjain deadline atau skripsi (dan saya bahagia untuk mengerjakan hal itu), Sabtu Minggu, full bimbingan skripsi (secara weekdays-nya kepake kerja), menclok sana sini buat meeting organisasi-lah, sekedar hangout menghilangkan penat-lah, ikutan event lari-lah, yang jam 3 subuh udah berangkat dari kost-an ngumpul di lobby kantor atau apapun hal-hal ekstrim yang menurut saya gak mungkin saya lakukan ketika sudah punya suami, apalagi udah punya anak.

Istri macam apa cobak yang pulangnya jam 12 malem? Hah? Noo. Im not that type. Sudah berkeluarga itu berarti sudah berkomitmen untuk tidak egois dengan kebahagiaan diri sendiri. Pun juga, tidak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri/ibu. Mudah-mudah diberikan kemudahan dan selalu istiqomah.

Disamping itu, saya punya ilmu apa? Iyasih sudah mondok 3 Tahun, tapi Usia 19 sampai menuju 22 Tahun, saya gak benar-benar serius belajar tentang ilmu pernikahan. Kalau saya menikah dalam kondisi seperti itu, saya yang takut sendiri ngebayanginnya.

Oleh karena itu saya SALUT untuk orang-orang yang memilih dan ditakdirkan untuk menikah muda (karena menikah bukan hanya perihal tentang memilih tapi juga ada campur tangan Allah kemudian menjadi takdirNya). Karena berkomitmen ina inu dalam pernikahan itu berat. Setelah menikah kan PR-nya ya menjaga pernikahan tersebut, dong? Menjaganya ini, perlu kedewasaan untuk memahami karakter pasangan, memahami keluarga pasangan, mencari jalan keluar dengan kepala dingin dalam setiap masalah, rela meninggalkan ego masing-masing, mencari nafkah yang halal, hamil, punya anak, bangun tiap malam, menyusui yang disertai seabreg pelajarannya perihal kelekatan puting lah, ASIP, ASI tersumbat, setelah itu bayinya gede-an dikit, MPASI homemade, stimulasi bayi dan sebagainya dan sebagainya. Segudang pelajaran parenting yang perlu dipraktekkan sampai kita tua nanti. 

Sudah usia "matang" (versi orang Indonesia kebanyakan) dan sudah banyak belajar saja, pernikahan itu masih berat. Apalagi jika keadaan kita masih minim ilmunya, masih labil jiwanya, masih setengah matang pemikirannya. 

Beramal tanpa Ilmu? Apa jadinya? Asalan. Asal jadi. Asal hidup. Asal makan. Asal sekolah. Asal menikah.


Cobaan terpanjang dan melelahkan dalam hidup adalah pernikahan, Cak Emir


Karena saya sadar, ternyata di usia segitu saya masih ingin menclak menclok sana sini. Masih ingin main. Masih ingin hidup diluar rumah. Masih ingin meraih karir yang lebih dan lebih lagi (walaupun kenyataannya sekarang gak punya karir hahahaha, bye. Aku ibu RT yang leha-leha di rumah sekarang). 

Karena cita-cita (juga komitmen) saya setelah menikah ya jadi ibu rumah tangga (untuk saat itu, sampai saat ini, entah nanti kalo anak udah dewasa), bukan ibu yang bekerja di kantor. Alasannya? Ya banyak. Pun, Quran Hadits mendukung sekali komitmen saya. (Sebenarnya bukan dukungan sih, lebih kepada anjuran (anjuran atau aturan (?)) kalau menurut pemahaman saya saat mengaji, sekali lagi, ini pemahaman saya, masing-masing orang pasti punya pemahaman masing-masing, Quran Hadits-nya sama, pemahamannya belum tentu sama. Pun berlaku untuk segala jenis ilmu pengetahuan di muka bumi). Maaf lah kepanjangan, jadi sekalian curhat -_-

Jadi menikah itu bukan pacepet-cepet, bahasa jermannya, mah yah. Santai tapi serius belajar dan memperbaiki diri. Serius tapi gak tergesa-gesa, asal cepet menikah, padahal ilmunya belom punya.

Sampai akhirnya saya menikah, ...

Perlu diketahui, Alhamdulillahnya beberapa belas bulan sebelum menikah saya diberi kesempatan (atau kesadaran? WKWK) menekuni Ilmu dunia Rumah Tangga, maksudnya? Maksudnya iya saya belajar, entah belajar dari buku atau memahami kembali makna/keterangan-keterangan atau kisah-kisah nabi dan istri di Alquran dan Alhadits yang sudah saya pelajari sebelumnya. Mencari-cari hikmah-hikmah tersembunyi di coretan-coretan lama saya. Jadi saya menikah nggak dari nol, bukan, bukan materinya aja yang nggak dari nol, tapi ilmu saya juga nggak enol untuk memutuskan menikah, saya (merasa) sudah "belajar serius". Saya merasa semakin mantap ingin menjejaki dunia pernikahan karena beberapa ilmu berkontribusi membekali kepercayaan diri saya, walaupun sempat kepikiran masih asik kerja dan single gini, sih. Ngapain banget nikah cepet-cepet, lah. Lagi menikmati hidup dengan karir yang lumayan.

Apah? Temen-temen udah nikah? Gak, saya gak terlalu iri. Pengen sih iya, pengen. Tapi denger cerita pernikahan yang seumuran saya (dan atas saya), kok banyakan susahnya daripada senengnya. Terutama awal-awal pernikahan. Ditambah lagi temen-temen (senior-senior, tepatnya) kantor, saya bilang mau nikah usia 24-25 mereka malah pada syok, kecil-kecil kok mau nikah (?)

Yang kecil apanya? Badannya yang kecil, kak? Bye :'|

Cuma kok setelah ditilik-tilik laki-laki qualified makin susah dilihat mata yaaa. Hahahaha. Yang atas saya umurnya, jelas lah udah pada nikah. Yang seumuran? UDAH PADA NIKAH JUGA. LOL. Mana laki-laki kan makin dikit ya mendekati akhir zaman, which is laki-laki baik dan qualified makin tambah SEDIKIIIIT lagi. 

Disini mulailah kegalauan melanda, takut gak kebagian jatah laki-laki baik. Wk. Atulah.

Nehi lah, saya tetap percaya selama saya terus memperbaiki diri berarti ada laki-laki baik disana yang juga memperbaiki diri. InsyaAlloh. Khusnudhonbillah.. Eeaa.

(Oke, diulang lagi).. 
Kemudian saya menikah, ...

Eh terus, kok bahagia siiiiihhhh. Kok seru siiih. Kenapa gak dari duluuu? Hahahahahha. 

Manusia! :))))

Maksudnya ya nggak kayak yang kebanyakan orang-orang cerita ke saya. Awal-awal pernikahan itu berat, Nad. Awal-awal pernikahan itu banyak nggak cocoknya, Nad. Awal-awal nikah aku itu berantem mulu, Nad. 

Kok, saya enggak, yaa? Alhamdulillah ya berarti. Ada sih nggak cocoknya, tapi ya biasa aja. Sama adek kakak juga sering nggak cocok (malah lebih parah WKWK). Sama orang tua juga pernah nggak cocok. Sama teman pun begitu. Makanya waktu menikah, ya biasa aja. Masih bisa diselesaikan. Bisa dinegosiasi. Bisa dimusyawarahkan bersama.

Kenapa bisa berbeda? (Batin saya saat itu).

Apa karena saya menikah di usia yang relatif matang, kata orang-orang? Sehingga pemikirannya sudah lebih dewasa. Atau karena sebelumnya saya sudah berusaha belajar dengan serius tentang ilmu pernikahan? Sehingga ilmunya bisa dipraktekkan.

Jawabannya, bisa iya bisa juga tidak.

Kemudian kembali ke topik menikah muda versi Alvin dan Larissa aja lah daripada keasikan spamming :3

Ketika dunia persosmed-an orang tua kemarin dihantui oleh kegelisahan perilaku oknum-oknum remaja seperti Awkarin dan pacar-pacarnya, eh, kawan-kawannya maksudnya. Jujur sekali, berita pernikahan Alvin dan Larissa saat ini (itu) layaknya mata air ditengah gurun pasir (tsaelaa), bagi saya. Menyegarkan sekali. Kagum sekaligus penasaran, kenapa Pak Arifin bisa mengizinkan anaknya untuk menikah di usia 17tahun? Kenapa Alvin punya nyali sebesar itu, untuk mengambil keputusan menikah dan menjalani sidang di pengadilan, untuk membuktikan bahwa ia mampu dan pantas mendapatkan izin menikah dari pemerintah, karena usianya masih masuk dalam kategori belum boleh menikah bagi laki-laki (syarat usia menikah laki-laki: 19tahun, btw).

Disaat di luar sana begitu banyak generasi muda yang katanya ta'aruf tapi kelamaan, ta'aruf tapi ya jalan-jalan berduaan, Alvin memilih untuk melepas masa lajangnya, mengambil tanggung jawab dan bahkan sudah berhasil memerantarai Larissa dan keluarganya untuk mencapai nikmat menjadi seorang muslim/muslimah.

Dari mereka saya belajar bahwa, memang benar, begitulah alurnya, kedewasaan seseorang tumbuh berbarengan dengan proses pubertasnya. Sudah seharusnya kedewasaan biologis seseorang dibersamai dengan kedewasaan mental dan spiritualnya secara menyeluruh sehingga bisa menjadi pemimpin, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, yang bisa mendakwahkan dan menjalankan syariat Islam secara Quran Hadits yang murni serta berjamaah dalam mengamalkannya, tidak sendiri-sendiri. Tidak pintar sendiri. Tidak baca buku-buku atau googling-googling ilmu agama sendiri.

Dan ini lebih utamanya lagi adalah untuk seorang anak laki-laki.

Sejatinya, ketika anak mencapai masa pubertas, anak-anak kita kelak sudah menjadi orang dewasa dan perlu diperlakukan sebagai orang dewasa. 

Masalahnya, kurangnya konsep keTuhanan dan Alquran (bahkan cenderung tidak ada), hal inilah yang menjadikan anak belum dewasa setelah pubertas, menurut ahli-ahli pendidik Islam. Sehingga, masa pubertas dikenali sebagai masa-masa yang bergejolak bagi setiap manusia, masa-masa gap antara anak-anak dan dewasa sehingga sering menimbulkan badai stress, menurut teori storm and stress nya Stanley Hall (1904).

Padahal, kalau defaultnya manusia memang seperti itu, disekolah-sekolah menengah, sudah seharusnya anak-anak bermasalah menjadi mayoritas. Kenyataannya? Tidak. Mereka bagian dari minoritas yang mengalami gejolak dan stress di masa remaja. Menurut penulis buku The Myth of Adolescent, David A Black hal tersebut adalah bawaan dari masalah pengasuhan ketika kanak-kanak. 

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa, adalah ayah dan ibu sebagai penanggung jawab awal seorang anak dan penanggung jawab yang utama dengan menghadirkan Allah dalam pengasuhan dan Al Qur’an juga Al hadits sebagai 'makanan' keluarga sehari hari. Sehingga kehidupan anak-anak pasca pubertas sudah menjadi muslim sejati karena pondasi yang kuat yang ditanamkan sejak dini. Ketika mereka sadar dan bertanggung jawab atas masa pubertas/kedewasaannya, jadilah mereka muslim/muslimah sejati yang dengan pemikiran komprehensifnya dapat menjalani kehidupan dengan jauh lebih bertanggung jawab dan lebih baik lagi, dunia kecil bagi mereka karena Allah lah yang Maha Besar. 

Untuk sampai di titik itu, tentu saja kedua orang tua perlu jatuh bangun bekerja keras membangun pondasi akidah yang kuat serta berakar, dan utamanya peran ayah sebagai kepala madrasah keluarga.

PR amih abih, banyak, Biq.. Jadi anak sholeh yah. Uhuhu 
*tetiba melow sendiri* :'{

Jadi, nikah muda itu seru?

Bisa iya, bisa tidak.

Kalau sudah mampu, insyaAlloh seru. Kalau belum mampu, lebih banyak gak seru-nya daripada seru-nya.

Mampu-nya yang seperti apa, sih?

Ilmunya sudah belajar. Akidahnya sudah mantap. Dan terus dalam rangka memperbaiki diri. Belajar tentang ilmu pernikahan, Baiti Jannati, mengerti cara pandang pasangan itu mungkin berbeda karena jenis kelaminnya saja sudah berbeda, sedikit-sedikit tau tentang ilmu parenting, karena juga paham bahwa abis nikah itu resikonya hamil, maka sudah sedikit-sedikit tau tentang kehamilan, melahirkan, menyusui dan sebagainya. Gak harus hapal semuanya, tapi paling tidak kenal dengan dunia yang kelak akan ia tempuh. Yang terpenting adalah terus mengupgrade ilmu Quran dan Haditsnya.

Materi? 
Issshh. Matre.
Nggak, saya nggak bilang perlu nikah gede-gedean di gedung mevvah, tapi kan nikah di KUA aja harus bayar (Eh apa udah gratis sekarang? Wqwq). Paling nggak, udah punya penghasilan lah. Gak harus tetap, yang penting anak istri, tau nanti mau dikasih makan apa. Ya kan memang sudah menjadi kewajibannya suami, toh memberi nafkah keluarga? Jadi kalau belum mampu memberi nafkah, lebih baik puasa daripada memaksa anak gadis orang untuk hidup susah. Kecuali sang istri sudah bekerja dan rela mengeluarkan harta pribadinya untuk kesejahteraan keluarga, kelak. Lain cerita.

Kalau di umur 17 tahun seperti Alvin sudah mampu seperti diatas dan orangtua mereka sama-sama merestui, ya sok lah monggo. Insya Allah kalian tau akan dibawa kemana bahtera rumah tangga kalian tersebut.

Apakah saya akan mengizinkan Bibiq menikah muda?

Tergantung kondisinya nanti, kalau sudah mampu menurut standar saya dan abihnya sebagai orang tua, kenapa harus menunda-nunda?

Syaratnya, ya tetap di kami sebagai orang tuanya. Apakah sudah membekali hidupnya dengan Alquran dan Hadist serta keterampilan-keterampilan lain dengan cukup?


*

Udah lah kiranya, kapan-kapan posting lagi. And share your thoughts, anyway~
Wassalamualaikum!

 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon