Resume Seminar Ada Apa Dengan Cinta dan Sabarmu Bunda? (Part 3)



Assalamualaikuum.. maaf part 3 agak lama yaa. Harap maklum dengan kesibukkan ibu RT yang kurang jelas dan mood nulis yang syalala syubidubidu damdam (naon? wqwq)

Lihat postingan sebelumnya disini yaa: http://nadyavaizal.blogspot.co.id/2016/11/resume-seminar-ada-apa-dengan-cinta-dan_24.html?m=0


So, here it is.. enjoy~

Ibnul Qayyim menjelaskan,
”Kalau orang yang sedang dilanda asmara diperintahkan untuk memilih diantara kesukaannya pujaan mereka dengan kesukaannya Allah, pasti dia akan memilih yang pertama. Ia (orang yang dilanda asmara) pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya, ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.

And this is how love works, kurang lebih lah ya. Jadi para orang tua, mengerikan sekali ketika di hati tidak ada cinta kepada Allah dan Rosulnya. Kepada siapa lagi kita dan anak-anak kita akan melabuhkan cinta kita yang hakiki? Karena dunia hanyalah sesuatu yang fana.

Maka, bagaimanakah usaha kita sebagai orang tua untuk menanamkan benih keimanan kepada anak-anak kita? Teh Kiki memberikan tips & triknya sebagai berikut:

1. Mengajarkan Ilmu yang menumbuhkan, mengokohkan dan menyuburkan keimanan. Segala ilmu pengetahuan yang kita kenalkan kepada anak, tetap diarahkan menuju keyakinannya terhadap Islam. Bahwa Allah menciptakan segala sesuatunya dengan alasan terbaik yang Dia miliki.

2. Memberikan teladan dalam amal sebagai buah dari keimanan. Mencontohkan dalam perbuatan sehari-hari karena anak belajar dari apa yang mereka lihat untuk mereka teladani.

3. Menjaga dari segala sesuatu yang akan merusak keimanan. 

4. Menggali hikmah kejadian sehari-hari agar semakin menyuburkan keimanan. Bercerita, sharing, diskusi dalam family quality time, selain mempererat kasih sayang dan kelekatan diantara personil keluarga, juga menambah keimanan karena disetiap cerita atau diskusi selalu ada hikmah yang bisa dipelajari.

5. Memastikan keistiqomahan islam. Cek dan ricek, bagaimana anak (dan juga kita) mengenal, mengamalkan dan menyanyangi keislamannya.

Tidak lupa pula, teh Kiki juga menambahkan usaha-usaha apa saja yang dapat orang tua lakukan dalam mengenalkan Rasulullah Saw kepada anak:

1. Menjadikan sirah Rasulullah SAW dan para nabi sebagai kurikulum wajib pendidikan anak dalam keluarga
2. Mengkorelasikan kejadian yang kita alami dengan kehidupan Rasulullah SAW baik perbuatan maupun perkataan beliau
3. Menghadirkan sosok Rasulullah SAW sebagai idola bagi anak serta menghindari segala hal yang membuat anak mengidolakan yang lainnya

Jika engkau tidak memenuhi hatimu dengan cinta pada Allah dan Rosul, pasti ada cinta lain dalam hatimu

Karena generasi yang produktif tidak akan menghabiskan waktu mereka hanya untuk berkorban demi seseorang yang kelak, belum tentu akan menjadi istri atau suami mereka. Oleh sebab itu, PR kita sebagai orang tua ialah (juga) menciptakan suasana yang produktif, sebagaimana yang teh Kiki bagikan, yakni dengan cara:

1. Membantu anak mendapat informasi yang benar dan penting untuk bekal hidupnya
2. Melatih anak untuk memiliki kemampuan mengambil, menggabungkan, membandingkan, dan menggunakan informasi yang dimiliki untuk diterapkan dalam konteks baru dan keterampilan konseptual
3. Melatih anak untuk memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan
4. Melatih anak agar dapat bersikap dan berfikir secara rasional serta bertindak secara efektif dalam menghadapi lingkungannya
5. Melatih anak untuk memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah
6. Melatih anak untuk memiliki kemampuan untuk menciptakan hal baru
7. Melatih anak untuk menemukan atau menciptakan masalah baru yang menjadi peletak dasar munculnya pengetahuan baru
8. Memastikan mereka selalu dalam kegiatan produktif dan terhindar dari kesia-siaan
9. Merangsang anak untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosial dan kondisi ummat
10. Bantulah mereka menemukan potensi, minat dan bakat mereka sedari dini, serta siapkan sarana dan prasarana yang menunjang pengembangannya.
11. Merangsang anak untuk memiliki visi misi hidup dan mengarahkan energi mereka untuk meraih visi misi tersebut
12. Menyediakan berbagai sarana untuk mengaktualisasikan diri mereka dalam kegiatan yang bermanfaat
13. Mengajarkan life skill dan melatih kemandirian.

Semoga dengan usaha-usaha yang dapat kita perjuangkan ini, anak-anak kita senantiasa melampiaskan energi mereka pada hal yang positif, juga mendapatkan kepuasan batin dan kebermanfaatan yang positif baik untuk mereka maupun lingkungan sekitarnya sehingga kita mendapatkan karunia juga rahmat dari Allah SWT serta menjadi jalan terkabulkannya doa-doa positif kita. Aamiin..

Fighting! 
xx

Resume Seminar Ada Apa Dengan Cinta dan Sabarmu Bunda? (Part 2)

Assalamualaikum!

(Sudah baca post part 1-nya? Kalo langsung baca post ini, bisa bingung, lho. yuk di cek dulu postingan sebelumnya http://nadyavaizal.blogspot.co.id/2016/11/resume-seminar-ada-apa-dengan-cinta-dan.html?m=1 :D)



"Dalam banyak kasus, pemasalahan pergaulan bebas pada anak, diawali dari merenggangnya hubungan mereka dengan orang tuanya. Kerenggangan-kerenggangan tersebut biasanya diawali dari komunikasi yang menyimpang antara orang tua dan anak. Juga konflik yang terjadi bertahun-tahun antara orang tua dan anak sehingga menguras emosi kedua belah pihak." Ujar teh Kiki, menjelaskan.

Btw, apa sih komunikasi menyimpang? Ada 12 gaya populer komunikasi menyimpang, yang in syaa Allah akan saya bahas di thread berbeda yaa, its worth to post!

Menurut teh Kiki, ketika konflik tersebut terjadi, maka muncullah kondisi-kondisi (yang kurang lebih) sebagai berikut:
a. Anak akhirnya menjauh dari orang tua.
b. Anak malas/tidak menikmati bahkan tidak mau berbagi dan bercerita dengan orang tua.
c. Anak cenderung kesal dan denying terhadap kata-kata orang tua.
d. Anak sulit menuruti perintah orang tua.

Banyak anak-anak yang dirinya, hatinya, atau baktinya menjauh dari orang tua karena orang tua lebih sering bersikap "mempersulit" keadaan atau tidak menyelesaikan masalah (yang-malah-menambah-masalah-baru dengan gaya komunikasi menyimpangnya).

Ketika keadaan diatas terjadi, maka bisa saja muncul konflik baru: 
a. Anak semakin menjauh dari nilai-nilai kebaikan
b. Anak semakin menjauh dari koridor syariat Allah

Yangmana, salah satu efeknya ialah anak-anak/remaja memilih untuk menyalurkan rasa cinta mereka dalam bentuk pergaulan bebas. Naudzu billahi min dzaliik.

Lalu teh Kiki bertanya kepada audiens, "Mengapa banyak anak-anak yang bersikap "nyentrik", lebay bahkan menyimpang?"

Inilah jawaban atas pertanyaan teh Kiki:

Salah satu kebutuhan anak adalah 3P (penerimaan, penghargaan, pujian).

- Jika mereka tidak mendapatkan hal ini (3P, penerimaan, penghargaan, pujian) dirumah, mereka akan mencari di tempat lain. 
- Jika mereka tidak merasa di terima apa adanya di dalam rumah, mereka akan berperilaku yang tidak apa adanya di lingkungan luar agar diterima dilingkungannya. 
- Jika mereka tidak pernah mendapatkan penghargaan di dalam rumah, mereka akan berperilaku yang tak biasa demi mendapatkan penghargaan di lingkungannya. 
- Jika mereka tidak pernah mendapatkan perhatian berupa pujian dalam keluarganya, mereka akan mencari perhatian demi mendapatkan pujian dilingkungannya. 
- Jika mereka (anak) tidak terpenuhi cintanya di dalam rumah, mereka akan mencari pihak lain yang bisa memuaskan rasa hausnya akan cinta. - Jika mereka tidak mendapatkan sosok yang melindungi, mengayomi dan mengasihi di dalam rumah, mereka akan mecari sosok lain yang memebuhi kebutuhannya di lingkungannya.

Jadi, memang seperti apa mereka saat ini/nanti, sangat dipengaruhi oleh seperti apa pihak yang paling sering berinteraksi dengannya. 
Seperti apa mereka, juga sangat di pengaruhi oleh apa saja yang mereka pikirkan. 
Seperti apa pikiran mereka adalah seperti apa yang dominan mereka lihat dan mereka dengar.

Tentu saja, sesuatu yang kita cintai akan lebih dominan untuk mempengaruhi tindak tanduk kita/anak kita baik secara langsung/tidak langsung. Manusia selalu berusaha melakukan apapun yang diinginkan oleh sesuatu/seseorang yang mereka cinta, begitupun anak-anak. Maka jika kita sebagai orang tuanya ingin lebih banyak mempengaruhi anak anak kita, buatlah mereka cinta pada kita. 

Maka penuhilah mereka, anak-anak dengan Cinta Sebelum mereka haus akan Cinta.

“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)

Jangan Biarkan Allah Cemburu, melihat mereka merusak fitrahnya dengan cara menyalurkan cinta dengan cara dan pihak yang salah.

Buatlah mereka cinta kepada Alquran dan Alhadits, agar ayat-ayat suci yang dominan menghiasi sendi-sendi kehidupan serta perilaku mereka. Semangatlah dalam jihad ini, yakni menanamkan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW dalam hati anak-anak kita melebihi rasa cintanya terhadap sesuatupun. Semoga kelak mereka tidak terperosok dalam fitnah-fitnah cinta yang buta. Mudah-mudahan dengan usaha yang mungkin tidak seberapa ini bagi Allah, anak-anak kita yang diarahkan ini bisa memiliki konsep diri dan konsep hidup yang benar, menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan akan menjaga rasa cinta mereka terhadap lawan jenis karena Allah SWT. Memilih orang yang dicinta sesuai kesukaannya Allah. Menyalurkan rasa cinta mereka dengan jalan pilihan Allah. 

Aamiin ya Robbal 'alamiin.

(Bersambung)
Jangan lupa baca post berikutnya yaaa :")

Resume Seminar Ada Apa Dengan Cinta dan Sabarmu Bunda? (Part 1)


Assalamualaikum! 
Alhamdulillaaah, launching juga nih post, setelah bertengger di draft luammaaa. *sujud syukur*

Yuk ah, langsung aja disedot ilmu hasil oleh-oleh seminar Teh Kiki Barkiah, enjoy your time!



Menghadapi perilaku anak yang aneh bin ajaib seringkali membuat orangtua memutar otaknya berkali-kali. Terkadang para orang tua juga menjadi kewalahan menghadapi perilaku anak-anak mereka yang sulit diatur dan semaunya sendiri.
Dengan perbedaan zaman dan berbagai kondisi yang sedang dihadapi saat itu, beberapa orang tua masih ada yang seringkali kehilangan akal, sehingga sampai berani menggunakan kekerasan kepada anak, baik kekerasan verbal (membentak, memarahi) maupun kekerasan fisik (memukul, mencubit) demi mendisiplinkan anak-anak mereka, terutama saat mempersiapkan Pubertas/Pra Baligh anak-anak mereka. 
Kita seringkali lupa bahwa mereka hanya titipan yang bisa diambil kapan saja oleh penciptaNya. Kita yang diamanahi, dipercaya menjaga mereka dari kekerasan fisik dan verbal, supaya mereka bisa kembali dalam keadaan sempurna fisik juga mentalnya, senang sekali khilaf mengekspresikan kemarahan kita sehingga merusak amanah tersebut.
Ada apa dengan cinta dan sabarmu, bunda? :'

Cinta adalah fitrah manusia. 

Dihias-hiasi pada (pandangan) manusia, senang (kecintaannya) pada beberapa keinginan, yaitu diantaranya: senang pada wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. itulah kesenangan hidup di dunia (tidak kekal) dan di sisi Allah
-lah sebaik-baiknya tempat kembali. (QS Âli `Imrân [3]: 14)

Fitrah Cinta itu ternyata juga termasuk cinta kita saat remaja.

Sayangnya, cinta itu seringkali menjadikanmu buta dan tuli. Namun, menurut penelitian juga, cinta itu ada titik jenuhnya. Sehingga cinta dalam kehalal-an (pernikahan) itu, yang bisa menguatkannya melewati titik titik jenuh tersebut adalah cinta yang karena Alloh bukan karena cinta yang selainNya.

Menurut penelitian dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang mengejutkan. Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan saja, namun karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.

Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. 
(sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).

Dalam penjelasan teh Kiki, menurut Sarwono (1998), keluarga merupakan lingkungan primer pada setiap individu. Sebelum anak mengenal lingkungan diluar rumahnya, ia terlebih dahulu "mengenal" keluarganya. Dari lingkungan keluarga itulah anak-anak, pertama kali menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarganya, yang mana norma dan nilai tersebut kelak, akan dijadikan bagian dari kepribadiannya secara sadar atau tidak sadar. Setelah itu, baru anak-anak akan mengenal norma-norma dan nilai-nilai di dalam masyarakat, yang tentu saja akan berpengaruh terhadap kepribadiannya.

Sehingga dalam hal ini, orang tua berperan sangat penting dalam emosi remaja, baik yang memberi efek positif maupun negatif. Maka tugas orang tua ialah, mengenalkan mereka tentang cinta sebelum mereka mencinta.

Kemudian teh Kiki juga mencontohkan tentang kenakalan remaja, seperti yang kita ketahui saat ini, fenomena kenakalan remaja (baca: kebebasan tidak bertanggung jawab) yang sedang heboh di jagat dunia maya, salah satu contohnya. Mereka melakukan hal-hal diluar batas norma dan nilai setempat, pun juga diluar batas aturan/perintah dari agama yang mereka anut dan mereka melakukannya dengan bangga, tanpa rasa malu dengan memamerkannya di sosial media. Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan saya khususnya dan oara orang tua lainnya yang menginginkan anak-anaknya tetap dijalan yang lurus. Kenakalan-kenakalan remaja tersebut, menurut teh Kiki, seringkali pada awalnya disebabkan oleh kegagalan dalam membentuk lingkungan sosial dalam keluarga.

Karena ketika anak mulai beranjak dewasa, ia memiliki kebutuhan dalam membangun hubungan terhadap teman sepermainannya. Pada masa inilah perilaku anak-anak akan mudah sekali dipengaruhi oleh teman-teman mereka. Contohnya seperti cara mereka menghabiskan waktu, cara mereka menggunakan uang saku, cara mereka menggunakan teknologi, bagaimana mereka membangun konsep diri, juga termasuk bagaimana mereka berperilaku seksual. 

Besarnya pengaruh dari luar kepada anak-anak/remaja pada masa-masa ini, maka kita sebagai orang tua supaya selalu memberikam cinta dan kasih sayang dalam porsi yang dibutuhkan anak juga selalu tetap mengarahkan jiwanya untuk mencintai Alquran dan sunah. Semakin sedikit cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada anak, maka semakin sedikit pengaruh yang bisa kita berikan kepada mereka. Jika pengaruh orang tua lebih sedikit maka akan ada banyak pengaruh lain yang akan mempengaruhinya. Syukur Ahamdulillah kalau pengaruhnya baik. Kalau sebaliknya? Jangan tunjuk orang lain, berkaca dulu pada diri sendiri sebagai orangtua. Karena seperti yang umum kita ketahui bahwa manusia akan menghabiskan banyak waktu yang mereka miliki dengan sesuatu yang mereka cintai. Begitu pula anak-anak kita. 

Salah satu upaya yang juga bisa kita lakukan untuk mencintai serta mengarahkan anak-anak menjadi hamba Allah yang kaaffah adalah memfasilitasi anak-anak pada kegiatan-kegiatan yang positif.

Semakin banyak aktifitas positif yang dilakukan anak semakin sedikit waktu luang tersisa, semakin sedikit pula kemungkinan menghabiskan waktu dalam kemaksiatan di jalan Allah, insya Allah. 

Namun, setiap pengasuhan selalu diselingi dengan berbagai macam kondisi. Salah satunya kemarahan/kekasaran orang tua kepada anak, tegas dalam artian negatif. Karena tegas terbagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian, permasalahan yang juga sering terjadi ialah tegas yang tidak pada tempatnya. Mengedepankan ego, merasa selalu benar dan tidak mencoba mengerti keadaan/alasan anak. 

Lalu, dapatkah kita menangkap cinta dari kekasaran? Dapatkah kita menangkap cinta dari kedzholiman? Dapatkah kita menangkap cinta dari kemarahan yang berlebihan?

....

(Bersambung..)

Jangan lupa, baca post selanjutnya yaaa disiniii -> :") http://nadyavaizal.blogspot.co.id/2016/11/resume-seminar-ada-apa-dengan-cinta-dan_24.html?m=0

Kuntum Farmfield, Bogor


Assalamualaikum, 

Kemarin saya dan keluarga kecil saya main-main ke Kuntum Farmfield atau Kuntum Nurseries Bogor. Kenapa "main-main", soalnya kan nggak terlalu jauh juga dari rumah ya dan acaranya, dadakan! Hahaha. 

Sebelum-sebelumnya memang lagi bikin rencana mau liburan kemana, sih (sambil mikirin budgetnya darimana jugak LOL), salah satu wacana yang ada adalah liburan ke puncak tapi mampir dulu ke Kuntum karena si abang memang suka dan sudah hapal beberapa nama hewan. Tapi, ya itu masih wacana saja. Lalu, kebetulan bulan ini sedang ada event Gramedia Big Sale, rencananya Sabtu mau berkunjung lah kesana, sambil membawa sekarung uang untuk dibelanjakan (ini boong, wqwq). Ternyata, tepat hari Sabtu pagi itu ada pengajian, jadilah kita batal berkunjung ke gudang buku yang sedang melangsungkan diskon besar-besaran tersebut. Rencana diubah ke hari Minggu, tapi eh tapi neneknya si abang ternyata ada acara dihari Minggu, jadinya si abang nggak bisa dititip (ih titip titip, nggak kasian apa sama neneknya? Well, judge me. Judge, me. Lol. Disamping emang neneknya seneng dititipin (karena sekali-sekali juga kan, lol) berhubung berburu bukunya di "gudang" saya agak khawatir aja, sih bawa bayi kesana. Sekalian juga lah quality time berdua cuami ya buu, kapanlagii, ihiw ;)), oleh sebab itu, acara main ke Kuntum mendadak banget karena rencana kita hari Sabtu berburu buku muree: batal, Minggunya juga ternyata nggak bisa, jadi deh Abih yang baik hatinya, Sabtu siang langsung memutuskan "Minggu, ke Kuntum aja, yuk", emak-emak kurang piknik mana yang nggak bahagia yekan? HAHA. Sungguh nikmat manalagi yang kau dustakan, buebuu? Alhamdulillaah. :'D

Minggu pagi setelah solat Subuh pun abih sudah siap-siap untuk rencana kita main ke Kuntum (baca: nyuci piring, nyuci baju. Iya, aku terharu punya suami kayak abih. Uwuwuw. I know you read it, abih. Jangan lupa tambah uang belanjak! *smirk* ).

Rencananya sih, jam 7.00 berangkat dari rumah, supaya disana nggak terlalu panas. Tapi realitanya jam 7.00 baru makan nasi uduk, lol. Saat itu Bogor mendung pekat, hawanya nikmat banget dibuat tidur :( Eterus gerimis, batal deh berangkat pagi (padahal mah emang belom pada mandi, haha). Jam 8.00an baru kita jalan dari rumah, tiba sekitar jam 9-an, disana hawanya masih sejuk karena mendung-mendung unyu gitu. 

Kuntum Farmfield terletak di Jl. Raya Tajur  No. 291  Bogor.
Jam Buka Hari, Senin – Minggu  08.00 – 18.00 WIB
Telepon : 0251 – 8244725, 8356752
Fax : 0251 – 8243148

Keluar tol jagorawi, mungkin sekitar 20menit-an untuk sampai ke tempat tujuan. Harga tiket masuk Kuntum Farmfield 40ribu, padahal sebelumnya 30ribu (baca-baca di blog orang). Anak dibawah 2 tahun nggak perlu bayar. Lumayan pricey sih ya menurutku, secara nggak dapet apa-apa, hanya tiket masuk aja. Tapi kayaknya masih lebih murah daripada D'Kand*ng yang bayar tiketnya per-kegiatan/fasilitas. Tempatnya mudah ditemukan, area parkirnya cukup luas. 



Lalu kami masuk ke dalam lobby untuk membeli tiket. Masih di dalam lobby tersebut kami juga disuguhi beberapa buah, bumbu dapur, tanaman-tanaman hias, pupuk yang dijual dan hampir kesemuanya merupakan hasil perkebunan Kuntum. Kubahagyaa! Selain toko buku, liat buah dan sayur dan kawan-kawannya, memberikan kebahagiaan tersendiri buat saya. Makanya saya seneng banget kalo kepasar atau supermarket :')







Saat memasuki farmfieldnya, kita bisa lihat kolam-kolam ikan di sisi jalan. Salah satunya ada kolam lele yang ikan lelenya guede buanget. Ma Syaa Alloh! Kata abih enak banget nih kalo dipecel, lol. Setelah itu ada kandang-kandang kambing kecil (cempe), domba, kambing besar, rusa, kelinci, marmut dan unggas-unggasan. Uuuu kyeopta! :3 Peternakannya bersih dan tertata rapi, nyaman banget deh.






Disana juga dijual sebakul daun/rumput juga wortel, pakan unggas juga ikan dan susu sapi bagi para pengunjung yang ingin merasakan experience memberi makan hewan-hewan ternak tersebut. Serius, saya baru pertama kali itu loh ngasi susu sapi ke kambing pakai dot! Dan si Abang sudah merasakannya diusia belum 2tahun, lol. Ohya, masing-masing harganya seporsi 5000 saja, termasuk susu sapi yang di dalam dot. Etapi kenapa susu sapi, ya? Kambingnya jadi anak sapi dong? wk. 










Setelah melihat-lihat kambing (dan memberi makan), suami menuju kandang tupai, bajing, sugar glider. Tupainya aktif bangeet. Petakilan kayak bola bekel. Si abang jadi gemes. Tapi sugar glidernya malah bobo berjamaah, haha. 

Lalu kita menuju kandang marmut dan kelinci yang besar. Alhamdulillah, pas kebetulan agak sepi. Sebelumnya, saat kita masih liat-liat ikan, kandang kelincinya ramai sama rombongan, entah rombongan TK atau SD. Abang mulanya takut-takut kasi makan marmut, akhirnya mau juga. Setelah itu ya biasa deh, maunya mah ya lalarian, gagal fokus sama hewannya. Tapi dia terlihat bahagia sekali, senangnya. Alhamdulillah.










Kemudian kita ke kandang sapi, bebek, burung, angsa, ayam dan rusa. Disana juga disediakan tempat-tempat untuk duduk-duduk sambil beristirahat atau ngemil (jika bawa/beli makanan). Ada juga kolam ikan yang sengaja didesain dengan air kolamnya yang hanya semata kaki sehingga mudah untuk ditangkap rame-rame, pun oleh anak-anak serta adapula tempat khusus memancing. Nanti, hasil tangkapannya bisa dibeli. Seru banget sih, kalo bawa keluarga besar, kemarin pas kebetulan ada satu keluarga besar yang melomba-kan acara tangkap ikan di kolam tersebut. Heboh! 











Selain peternakan hewan, ada juga area perkebunan sayur organik dan tanaman herbal, beberapa buah (seriously, nangkanya gede-gede benerrr). Ternyata, untuk kebun sayur, kita dibebaskan untuk memetik sendiri, nanti akan dihargai per kilonya. Perkebunan sayurnya luaasss sekali. Kalau masih pagi atau mendung gitu misalnya, rasanya segar sekali, sambil menikmati pemandangan hijau disekitarnya dan bahkan kita bisa melihat beberapa bukit nun jauh disana.







Sayang sekali, kami tidak melihat kuda, mungkin saking besarnya area peternakan, kami jadi bingung mau kemana lagi. Jadi weh lupa kalau saya mau coba berkuda bareng si abang, padahal di Kuntum memang sudah disediakan track berkuda, jadi anak-anak bisa naik kuda sendiri ataupun dengan didampingi orang tuanya. Untuk berkuda, ada biaya tambahan sebesar 30rb/track.

Selepas seru bermain, teman-teman dan keluarga bisa mengisi perut di resto yang ada di Kuntum Farmfield ini. Kabarnya makanan yang dijual pun berasal dari hasil peternakan dan perkebunan Kuntum juga loh! Entrepreneur sejati nih yang punya! Lol. 

Restonya, setau saya sih ada di dekat pintu masuk sebelum parkir, tapi saya dan keluarga nggak jajal makanannya, karena yah udah lah pulang aja, capek dan deket rumah ini (nggak deket-deket banget juga, sih aselinya :p).

Saran: 
1. Waktu sampe sana, misalnya masih pagi dan cuaca masih bersahabat, mending langsung ke kandang kambing/domba-domba kecil. Biar ada waktu banyak main sama mereka dan nggak panas pastinya. 
2. Setelah itu berkuda juga oke!
3. Untuk unggas-unggasan tempatnya lumayan adem, dan ya emang cuma "liat-liat" aja, sedikit interaksi.
4. Kandang kelinci/marmut boleh dibuat list terakhir buat dikunjungi, karena tempatnya lumayan teduh. Tapi sejukkan kandang-kandang unggas. Ya bebas deh mana yang mau dibuat list terakhir (unggas/kelinci), pokoknya pas matahari udah tinggi, kita nggak lagi panas-panasan.
5. Bawa baju kalo memang mau main basah-basahan untuk tangkap ikan, misalnyapun nggak basah, ganti baju karena badan gerah bau kambing/kelinci juga oke.
6. Bawa cemilan dan air mineral (kalo nggak mau beli), pastilah cape dan laper muterin farmfieldnya.
7. Bawa hand sanitizer bila perlu, disana lumayan banyak kran, sih (tapi nggak ada sabun, hehe). Buat yang kebersihannya level hotel, lumayan lah jaga-jaga.
8. Ohya, satu lagi! Datengnya agak pagi-an yaa. Biar udaranya masih sejuk buat jalan-jalan! Jam 8 baru buka, nah masih asik banget tuh cuacanya!

Si abang memang belum ngerti-ngerti banget, juga kan, tapi Alhamdulillahnya dia gampang dibujuk dan nggak takut, akhirnya sempet nangis juga sih, saat domba-dombanya jadi agresif ngejar abih karena lapaar, dan abang lagi digendong abih. Wqwq. Abang memang lebih excited lalarian daripada main sama hewannya, lol. Belum umurnya, memang.

Overall, tempat ini recommended lah untuk anak-anak, nggak terlalu jauh pula dari Jakarta-Depok-Bogor. Selamat berkunjung, have a nice, farming! ^-^

How Do We Gonna Raise Our Kids (Part I)




Sejak tau kehamilan abang (biasa di blog panggil bibiq ya, sekarang ganti abang aja. Karena sekomplek kenalnya teh -> abang haha), perasaan saya campur aduk. Iya, ada senangnya, pasti lah. Tapi nggak ya berbunga-bunga seperti para orang tua yang sedang menantikan seorang anak, saya lebih banyak kaget sama takutnya. Saya hamil di bulan ke 2 pernikahan, yang tanpa rencana. Karena saya anaknya mah prepared gitu, walaupun nggak well prepared banget, jadinya lumayan syok pertama kali tau diri ini hamil lewat testpack. "Duh, bisa nggak nih ngerawatnya, aku belum belajar apa-apa menjadi orang tua, juga belum belajar tentang kehamilan etc etc. AKK! Akhirnya? Ya dijalanin aja lah, belajarnya, ngitung-ngitung dana melahirkan, dana pendidikan dan sebagainya.

Betapa banyak remaja yang katanya salepgram itu, jauh dari kebaikan, dan sedang menjalani pergaulan yang mengerikan. Salah satu aspek yang mungkin saja berkontribusi atas hal tersebut adalah orang tua mereka tidak dapat menjadi sahabat yang baik bagi mereka.

So, here it is, how do we gonna raise our kids, btw:

1.  Berusaha untuk menghargai dan menerima mereka seutuhnya.

Setiap anak itu unik. Apapun yang ada di dalam dirinya, termasuk tumbuh kembangnya.

"Hidung bapaknya ya?" Lalu mereka tertawa. Hidung ibunya mancung, jadi disalahkan lah bapaknya yang tidak mancung sehingga anaknya hidungnya "begitu".
"Duh, kasian dapet kulit ibunya." Kulit bapaknya putih, ibunya eksotis.

Familiar ya dengan hal ini? Ibu-ibu di negara kita tercinta emang suka keterlaluan sih, mulutnya. Ibu baru lahir, berjuang setengah hidup setengah mati, eh anaknya dikomentarin orang yang kita minta makan sama dia aja, nggak. Please..

Saya nggak mau bilang, buibu kunci mulut. Jenguk bayi baru lahir bisa nggak sih ngobrolin yang enak-enak aja? Enggak. Udah banyak artikel yang nyuruh gini, saya mau cheer me up yang anaknya (pernah) dikomentarin sama orang lain. Saya akan tetap menerima anak saya seutuhnya, tidak perduli orang lain komentar apa. Saya nggak merasa lebih mulia ketika anak saya berkulit putih, berhidung mancung, berambut lebat, berparas cantik/tampan, berbadan gemuk. So? Apakah dengan kelebihan yang Allah berikan tersebut kemudian anak saya dijamin jadi anak sholih/sholihah? Dijamin masuk surga? Kan, tidak. Jadi, bersyukur dan biasa aja ketika diberi kelebihan, tetap menerima dan bersyukur ketika diberi kekurangan.

Begitupun masalah tumbuh kembang anak, Abang terbilang "agak telat" jalannya, sekitar 14++bulan baru mau berdiri sendiri lalu melangkah. Sebelum-sebelumnya, di-berdiri-in dulu baru mau jalan selangkah dua langkah. Sempat khawatir kok agak lama proses jalannya ya, tapi Alhamdulillah Allah selalu kasih ketenangan-ketenanganNya ke saya lewat orang-orang yang cerita kalau anaknya baru bisa jalan usia 18bulan, usia 22bulan, lalu saya menerima anak saya seutuhnya, memang tumbuh kembangnya berbeda dengan yang lain. Dan belum ada yang perlu di khawatirkan sejauh yang saya ketahui. Selama tidak terlihat tanda-tanda yang mengkhawatirkan, ya, tidak perlu khawatir. 

Menerima seutuhnya bukan berarti tidak perduli sama sekali, menerima seutuhnya adalah juga belajar dan berusaha sebanyak-banyaknya.


2. Takut dan tidak bisa

Sejauh ini saya belum pernah mengajari kata "takut" dan saya tidak pernah menakut-nakuti, tapi kelak mungkin rasa takut itu akan berkembang seiring pengetahuan dan kosakatanya. 

Kemudian sampailah saya dengar si abang bilang, "ma mauuu, mamauu. (gak mau) Tatut.." 

Jrenggg...
Belajar darimanakah dia tentang kata takut?
Dari tantenya. Dan tantenya menakut-nakuti juga, disuruh pegang danbo, tapi abang nggak mau, terus dijejel-jejelin.
Kesel? Yaiyalah. Untuk hal-hal yang nggak sesuai konsep pengasuhan saya, lalu diinstalkan tanpa sengaja ke otak anak saya, ya bawaannya jadi kesel. Makanya sampai saat ini saya masih memutuskan untuk nggak bisa nitip-nitip anak, lalu saya bekerja. Kapok :'(

Ketika abang bilang "tatut", saya memutar otak, apa yang harus saya fight back agar otaknya kembali "benar" sesuai yang saya inginkan. Reverse to "baik". Akhirnya saya bilang, "tidak apa-apa, ini danbo baik. Haay? Hay danboo. Hay abang? Tuh baik kan danbo-nya". Mulanya memang dia masih kekeuh tidak mau pegang, takut. Entah takut apa-nya. Tapi saya terus coba meyakinkannya. Hingga sampai akhirnya dia berani sentuh, pegang dan sekarang udah dimainin danbo-nya, sambil ngoceh-ngoceh sendiri.

Begitu pula dengan kata-kata: "Susah!" ini siapa yang ngajarin? Ya saya lah hahaha. Abang suka minta buka-in sesuatu, apa saja. Bahaya atau tidak, selalu minta di-buka-kan benda-benda yang ada tutupnya. Jadi ya, cara saya supaya dia gak mainan hal-hal yang berbahaya, seperti tempat jarum pentul, misalnya. Saya akan bilang, "uuu susah, susah dibukanya" lalu terserap lah kata tersebut ketika dia bermain apa saja dan tidak bisa menyelesaikannya, dia akan cranky sambil bilang "cucaaah~"

Kalau sebenernya dia bisa melakukan sesuatu itu dan hanya kurang usaha, saya dan abihnya pasti bilang: "Bisaa, ayo coba terus. Sedikit lagi, yak yak sedikit lagi, bisa"

Walaupun butuh waktu agak lama untuk akhirnya dia bisa menyelesaikannya, tapi 'kan saya memang harus tetap menanamkan hal-hal positif serta menguatkan kepercayaannya untuk mengerjakan sesuatu sampai batas usaha maksimal sehingga ia kelak menjadi orang yang tidak mudah menyerah.

3. Rasa ingin tahu dan sabar

Sebagaimana anak lelaki pada umumnya, yang katanya lebih aktif, lebih heboh, lebih gratak. Hal itu juga terjadi pada hidup saya. Iya, abang adalah type penjelajah. Bisa duduk anteng 2 menit aja di pengajian merupakan suatu prestasik. Walaupun rumah kami yang typenya 4L, lu lagi lu lagi, abang akan tetap menjelajah kesana kemari, bongkar sana bongkar sini, full energy sampai akhirnya dia ngantuk dan minta ng-ASI. Saya biasanya nggak emosi kalau dia ngegeratak tapi anteng, tapi kalau cranky nggak jelas maunya apa udah dikasih ini itu tetep rewel juga, jadilah kesulut juga emosi saya. 

Nah, karena saya ingin memenuhi rasa ingin tahu dia, maka type rumah saya akan agak rapih kalo ada tamu aja. Saya belajar untuk tidak menjadi orang tua yang sedikit-sedikit nggak boleh, dengan alasan berantakan. Dan memang untuk sering membolehkan anak mengeksplorasi lingkungannya ternyata butuh kesabaran ekstra. Saya sedang dan akan terus belajar tentang sabar, ini. 

4. Berpikir, memilih, mengambil keputusan.

Sejak abang sudah bisa berbicara lumayan bisa dimengerti ibunya, saya selalu berusaha memberikan dia sebuah pilihan. Mau baca buku yang mana? Mau dikamar atau keluar? Mau bobo atau main? Mau balon warna apa?

Dan kalau udah dikasih pilihan, lalu pilihannya tidak seperti yang ia butuhkan, maka saya akan tanya lagi, kenapa mau main? Kan abang sudah mengantuk. Bobo saja, ya? Abang sudah mengantuk. Biasanya kalau memang dia mengantuk, dia akan nurut. Kalau nggak ngantuk? Dia akan cranky dan menidurkan anak yang lagi nggak ngantuk itu melelahkan, ya bok. Mending turutin lah keinginannya, main dulu sampai lelah dan mengantuk dengan sendirinya.

Kalau pilihannya masalah warna atau sebatas sesuatu yang so so, saya akan menuruti pilihannya. Kalau tidak sesuai keadaan atau kebutuhan, saya akan tanya balik. Mengajak ia berpikir ulang. Saya belum terlalu mengerti sih, apakah akan berpengaruh atau tidak dengan tumbuh kembang kemampuan berpikir dan mengambil keputusannya sekarang, tapi berkomunikasi dengan cara memanusiakan anak saya, insyaAllah ada pengaruhnya, kelak. 

But so far, it works.. Abang memang sudah sering diajak berkomunikasi sejak bayi. Iya, sejak bayi abihnya suka ngajak ngobrol, ngobrolin apa saja. Panjang lebar, nggak cuma ci-luk-ba aja, seringnya malah seperti cerita kadang seperti meminta pendapat juga. Sehingga Alhamdulillah, tabarokalloh sekarang abang sudah bisa mengkomunikasikan sesuatu yang dia atau orang lain rasakan, seperti sakit, susah, takut, pup, nangis, mau, sudah, tidak mau, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangat membantu anak untuk tidak tantrum, karena apa yang dia rasakan bisa segera ditangani oleh orang tuanya.

Intinya sih, saya ingin Abang bisa berpikir sebelum memilih dan mengambil keputusan, bisa tau apa yang dia inginkan lalu mengungkapkannya dengan baik, sambil menerima atau menyaring masukan dari orang lain. Tentu saja ini adalah salah satu cara untuk survive dalam hidup.

5. Bercerita

Menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk bercerita, berhubung ngocehnya udah lumayan, abang udah bisa cerita walaupun yang dimengerti emaknya masih beberapa kata tapi tetep nggak boleh dicuekin, ya kan? Jadi dengarkanlah dengan mengikuti antusiasnya serta penuh perhatian. Mudah-mudahan kelak dia pun senantiasa merindukan masa untuk bercerita kepada orang tuanya pada saat beranjak dewasa.

6. Peluk sayang yang ditunjukkan

Saya nggak mau keluarga saya sayang dalam diam, kangen dalam diam, cinta dalam diam. Emangnya jodoh yang belom halal? EAA.

Kalau sayang ya bilang, kalau kangen ya bilang. Kalau sayang, ya peluk. Lakukan, ucapkan. Jangan diem aja. Jadi setiap mau berangkat atau pulang kantor, salim sama abih, cium-cium pipi abang. Saya sering bilang, i love you abang. Nanti dia ngikutin, ayeyu. Sekarang mungkin belum ngerti, tapi akan tetap saya lakukan terus. Kelak, ia akan mengerti. Begitupun komunikasi dengan suami saya. Kami ingin keluarga ini terbuka dan mengapresiasi perasaan yang ada.

Randomly, abihnya sering banget minta cium. "Sabiq cium abih, dong" Atau sering nyuruh "sayang amih, sayang amih", lalu abang elus-elus emaknya yang babak belur nungguin dia belom tidur-tidur padahal udah jam 9, karena dia baru bangun tidur sore jam 7 malem. *melting*

Saya juga type orang yang ekspresif, jadi seneng meluk atau dipeluk, apalagi peluk anak sama suami sendiri ya, kan. Terutama setelah marah/kelepasan emosi ke abang. Saya akan meminta maaf lalu minta peluk.

Untuk sayang ke anak yang lebih kecil, juga masih diajari walaupun kadang anaknya suka gemes. Tapi sekarang lebih terkontrol sih, kalau liat bayi atau anak yang lebih kecil dari dekat suka reflek bilang sayang-sayang sambil mau elus.

Bersambung...

Masih banyak sebenernya, sih. Pengen buat sekuelnya, nanti. Hehehe.

Sepertinya seru, mudah dan menyenangkan ya? Nggaak. Hahaha. Semuanya itu nggak mudah. Melelahkan, baik fisik dan mental. Makanya suka sebel liat orang yang kalo dengerin presentasi, seminar, nasehat tentang parenting terus bilang "udah tau", "udah ngerti", "udah biasa itu mah", "emang seharusnya begitu, kan?" 
Yaampon buibu, yang udah punya anak pun yang belom punya anak, emang anaknya udah sehebat apa sik, bisa ngomong gitu? Kalo merawat dan mendidik anak, mudah mah hadiahnya kipas angin ya bu, bukan anak sholih sholihah. Nggak akan nempel suatu ilmu kalo kita sudah meremehkan ilmu tersebut sejak awal. Jadi please lah dengerin, resapi dan hayati. Kita manusia yang suka khilaf dan lupa, lewat mereka lah kita bisa selalu diingatkan.
Anyway, tetap semangat mommies! Salam cinta kasih~ 
Aand, how do you gonna raise your kids? Share with me, please :)

SERUNYA NIKAH MUDA (?)


Spoiler: Very Long Post. Gak terbiasa membaca? Saya sarankan close tab sajah, daripada mual :)))

Beberapa waktu lalu, timeline ramai tentang pernikahan Alvin-Larissa (Iya yang anaknya Ust. Arifin Ilham itu lhooo. Yang jadi selebgram jugak. Wk). Ada yang pro, ada yang kontra. Sorry, for that (toooo) late, tapi saya ingin mengeluarkan sedikit (tapi panjang. EHE) uneg-uneg saya. Boleh ya? Boleh plis.

Definisi muda yang dipakai negara adalah usia yang belum cukup umur / belum memenuhi ketentuan usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Tapi bagi saya, definisi muda disini, adalah menikah dibawah usia 22 tahun baik bagi laki-lakinya, dan nikah dibawah usia 21 tahun untuk perempuannya.

Kenapa saya ambil sample di batas usia tersebut? Karena menurut ilmu kesehatan (yang pernah saya baca, koreksi bila salah), di batas usia masing-masing diatas, organ reproduksi laki-laki dan perempuan baru mencapai kesempurnaan dalam perkembangannya.

Disclaimer: Sharing santai menurut pemikiran saya ya. Artinya kalau kalian ada yang nggak setuju dan punya pendapat sendiri, ya silahkan saja. Tidak ada paksaan bahwa pemikiran saya lah yang benar, setuju yes?

Saya sebagai perempuan Indonesia, menikah di usia terbilang proposional, versi orang tua modern jaman dulu. 24 Tahun. Gak muda, gak juga tua. Pas-lah. Ya kan? Coba tanya orang tua masing-masing, berapa usia yang pas buat menikah? LOL.

Dulu, sempat kepikiran ingin menikah muda. Entah kenapa angka 21 indah sekali jika dilalui dengan pernikahan. Lelah aja gitu kan hayati jomblo 21 tahun. 

YEKAN? X'D

Pengenlah hidup berdampingan dengan imam, disayang-sayang suami dan bisa cepat punya anak sehingga umur anaknya tidak akan jauh karena saya masih muda. Jadilah kita gaul bareng. 

Lah?!

Kemudian disaat saya kuliah, kok ya ada aja yang propose ke saya secara serius. Makinlah galaauu. Mana kondisi laki-lakinya yang modelnya gabisa ditolak; -> faham agama, mapan, baik, berakhlakul karimah, contoh: kerja di perusahaan oil and gas, tampang lumayan, keluarga baik-baik, ketua remaja masjid di daerahnya, yang insyaAlloh agamanya baik, dan emang lah insyaAlloh baik. Kalo gak baik kan ngajaknya pacaran ya, ini kan ngajaknya nikah. Nikah siiiis, nikah. Di saat saya semester 3, atau usianya masih 19 tahun. NGERTI KAN YA GALAUNYA KAYAK APA. WHOAH :O

Tapi orang tua saya selalu beri saya insight tentang pernikahan, kami melakukan komunikasi yang mungkin tidak juga dibilang sempurna, tapi cukup membekali saya untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan. Disamping doa dan istikhoroh juga utamanya (InsyaAlloh will be post ya cerita tentang bagaimana saya menanggapi lamaran beberapa pria, mudah-mudahan banyak manfaatnya :* *ketjup ). 

Kemudian saya melanjutkan kuliah sambil bekerja, lelah tapi waktu saya sangat efektif, waktu saya habis buat hal-hal produktif. Lalu lulus sarjana, pindah kerja ke tempat yang prestisius daerah mentereng di bilangan Jakarta Selatan, sibuk di organisasi kepemudaan dan remaja masjid dan wow ALHAMDULILLAH YA KEMAREN BELOM NIKAH, JADI SAYA MELEWATI MASA MUDA SAYA DENGAN MAKSIMAAL sebagai gadis muda yang produktif. and im really happy for that. Alhamdulillah. Ehehehe :'D

Saya tidak menyesal tidak jadi nikah muda, walaupun kesempatan itu bisa saja saya ambil, namun takdir berkata lain. Karena kalau dipikir-pikir, saat ini saya sedang menjalani peran ibu, dan istri tentunya, banyaaaaaak hal yang mungkin perlu saya pikirkan berjuta-juta kali jika ingin melakukan aktivitas-aktivitas disaat saya muda (baca: belom nikah) dulu.

Lembur di kantor sampai jam 12 malam, entah ngerjain deadline atau skripsi (dan saya bahagia untuk mengerjakan hal itu), Sabtu Minggu, full bimbingan skripsi (secara weekdays-nya kepake kerja), menclok sana sini buat meeting organisasi-lah, sekedar hangout menghilangkan penat-lah, ikutan event lari-lah, yang jam 3 subuh udah berangkat dari kost-an ngumpul di lobby kantor atau apapun hal-hal ekstrim yang menurut saya gak mungkin saya lakukan ketika sudah punya suami, apalagi udah punya anak.

Istri macam apa cobak yang pulangnya jam 12 malem? Hah? Noo. Im not that type. Sudah berkeluarga itu berarti sudah berkomitmen untuk tidak egois dengan kebahagiaan diri sendiri. Pun juga, tidak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri/ibu. Mudah-mudah diberikan kemudahan dan selalu istiqomah.

Disamping itu, saya punya ilmu apa? Iyasih sudah mondok 3 Tahun, tapi Usia 19 sampai menuju 22 Tahun, saya gak benar-benar serius belajar tentang ilmu pernikahan. Kalau saya menikah dalam kondisi seperti itu, saya yang takut sendiri ngebayanginnya.

Oleh karena itu saya SALUT untuk orang-orang yang memilih dan ditakdirkan untuk menikah muda (karena menikah bukan hanya perihal tentang memilih tapi juga ada campur tangan Allah kemudian menjadi takdirNya). Karena berkomitmen ina inu dalam pernikahan itu berat. Setelah menikah kan PR-nya ya menjaga pernikahan tersebut, dong? Menjaganya ini, perlu kedewasaan untuk memahami karakter pasangan, memahami keluarga pasangan, mencari jalan keluar dengan kepala dingin dalam setiap masalah, rela meninggalkan ego masing-masing, mencari nafkah yang halal, hamil, punya anak, bangun tiap malam, menyusui yang disertai seabreg pelajarannya perihal kelekatan puting lah, ASIP, ASI tersumbat, setelah itu bayinya gede-an dikit, MPASI homemade, stimulasi bayi dan sebagainya dan sebagainya. Segudang pelajaran parenting yang perlu dipraktekkan sampai kita tua nanti. 

Sudah usia "matang" (versi orang Indonesia kebanyakan) dan sudah banyak belajar saja, pernikahan itu masih berat. Apalagi jika keadaan kita masih minim ilmunya, masih labil jiwanya, masih setengah matang pemikirannya. 

Beramal tanpa Ilmu? Apa jadinya? Asalan. Asal jadi. Asal hidup. Asal makan. Asal sekolah. Asal menikah.


Cobaan terpanjang dan melelahkan dalam hidup adalah pernikahan, Cak Emir


Karena saya sadar, ternyata di usia segitu saya masih ingin menclak menclok sana sini. Masih ingin main. Masih ingin hidup diluar rumah. Masih ingin meraih karir yang lebih dan lebih lagi (walaupun kenyataannya sekarang gak punya karir hahahaha, bye. Aku ibu RT yang leha-leha di rumah sekarang). 

Karena cita-cita (juga komitmen) saya setelah menikah ya jadi ibu rumah tangga (untuk saat itu, sampai saat ini, entah nanti kalo anak udah dewasa), bukan ibu yang bekerja di kantor. Alasannya? Ya banyak. Pun, Quran Hadits mendukung sekali komitmen saya. (Sebenarnya bukan dukungan sih, lebih kepada anjuran (anjuran atau aturan (?)) kalau menurut pemahaman saya saat mengaji, sekali lagi, ini pemahaman saya, masing-masing orang pasti punya pemahaman masing-masing, Quran Hadits-nya sama, pemahamannya belum tentu sama. Pun berlaku untuk segala jenis ilmu pengetahuan di muka bumi). Maaf lah kepanjangan, jadi sekalian curhat -_-

Jadi menikah itu bukan pacepet-cepet, bahasa jermannya, mah yah. Santai tapi serius belajar dan memperbaiki diri. Serius tapi gak tergesa-gesa, asal cepet menikah, padahal ilmunya belom punya.

Sampai akhirnya saya menikah, ...

Perlu diketahui, Alhamdulillahnya beberapa belas bulan sebelum menikah saya diberi kesempatan (atau kesadaran? WKWK) menekuni Ilmu dunia Rumah Tangga, maksudnya? Maksudnya iya saya belajar, entah belajar dari buku atau memahami kembali makna/keterangan-keterangan atau kisah-kisah nabi dan istri di Alquran dan Alhadits yang sudah saya pelajari sebelumnya. Mencari-cari hikmah-hikmah tersembunyi di coretan-coretan lama saya. Jadi saya menikah nggak dari nol, bukan, bukan materinya aja yang nggak dari nol, tapi ilmu saya juga nggak enol untuk memutuskan menikah, saya (merasa) sudah "belajar serius". Saya merasa semakin mantap ingin menjejaki dunia pernikahan karena beberapa ilmu berkontribusi membekali kepercayaan diri saya, walaupun sempat kepikiran masih asik kerja dan single gini, sih. Ngapain banget nikah cepet-cepet, lah. Lagi menikmati hidup dengan karir yang lumayan.

Apah? Temen-temen udah nikah? Gak, saya gak terlalu iri. Pengen sih iya, pengen. Tapi denger cerita pernikahan yang seumuran saya (dan atas saya), kok banyakan susahnya daripada senengnya. Terutama awal-awal pernikahan. Ditambah lagi temen-temen (senior-senior, tepatnya) kantor, saya bilang mau nikah usia 24-25 mereka malah pada syok, kecil-kecil kok mau nikah (?)

Yang kecil apanya? Badannya yang kecil, kak? Bye :'|

Cuma kok setelah ditilik-tilik laki-laki qualified makin susah dilihat mata yaaa. Hahahaha. Yang atas saya umurnya, jelas lah udah pada nikah. Yang seumuran? UDAH PADA NIKAH JUGA. LOL. Mana laki-laki kan makin dikit ya mendekati akhir zaman, which is laki-laki baik dan qualified makin tambah SEDIKIIIIT lagi. 

Disini mulailah kegalauan melanda, takut gak kebagian jatah laki-laki baik. Wk. Atulah.

Nehi lah, saya tetap percaya selama saya terus memperbaiki diri berarti ada laki-laki baik disana yang juga memperbaiki diri. InsyaAlloh. Khusnudhonbillah.. Eeaa.

(Oke, diulang lagi).. 
Kemudian saya menikah, ...

Eh terus, kok bahagia siiiiihhhh. Kok seru siiih. Kenapa gak dari duluuu? Hahahahahha. 

Manusia! :))))

Maksudnya ya nggak kayak yang kebanyakan orang-orang cerita ke saya. Awal-awal pernikahan itu berat, Nad. Awal-awal pernikahan itu banyak nggak cocoknya, Nad. Awal-awal nikah aku itu berantem mulu, Nad. 

Kok, saya enggak, yaa? Alhamdulillah ya berarti. Ada sih nggak cocoknya, tapi ya biasa aja. Sama adek kakak juga sering nggak cocok (malah lebih parah WKWK). Sama orang tua juga pernah nggak cocok. Sama teman pun begitu. Makanya waktu menikah, ya biasa aja. Masih bisa diselesaikan. Bisa dinegosiasi. Bisa dimusyawarahkan bersama.

Kenapa bisa berbeda? (Batin saya saat itu).

Apa karena saya menikah di usia yang relatif matang, kata orang-orang? Sehingga pemikirannya sudah lebih dewasa. Atau karena sebelumnya saya sudah berusaha belajar dengan serius tentang ilmu pernikahan? Sehingga ilmunya bisa dipraktekkan.

Jawabannya, bisa iya bisa juga tidak.

Kemudian kembali ke topik menikah muda versi Alvin dan Larissa aja lah daripada keasikan spamming :3

Ketika dunia persosmed-an orang tua kemarin dihantui oleh kegelisahan perilaku oknum-oknum remaja seperti Awkarin dan pacar-pacarnya, eh, kawan-kawannya maksudnya. Jujur sekali, berita pernikahan Alvin dan Larissa saat ini (itu) layaknya mata air ditengah gurun pasir (tsaelaa), bagi saya. Menyegarkan sekali. Kagum sekaligus penasaran, kenapa Pak Arifin bisa mengizinkan anaknya untuk menikah di usia 17tahun? Kenapa Alvin punya nyali sebesar itu, untuk mengambil keputusan menikah dan menjalani sidang di pengadilan, untuk membuktikan bahwa ia mampu dan pantas mendapatkan izin menikah dari pemerintah, karena usianya masih masuk dalam kategori belum boleh menikah bagi laki-laki (syarat usia menikah laki-laki: 19tahun, btw).

Disaat di luar sana begitu banyak generasi muda yang katanya ta'aruf tapi kelamaan, ta'aruf tapi ya jalan-jalan berduaan, Alvin memilih untuk melepas masa lajangnya, mengambil tanggung jawab dan bahkan sudah berhasil memerantarai Larissa dan keluarganya untuk mencapai nikmat menjadi seorang muslim/muslimah.

Dari mereka saya belajar bahwa, memang benar, begitulah alurnya, kedewasaan seseorang tumbuh berbarengan dengan proses pubertasnya. Sudah seharusnya kedewasaan biologis seseorang dibersamai dengan kedewasaan mental dan spiritualnya secara menyeluruh sehingga bisa menjadi pemimpin, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, yang bisa mendakwahkan dan menjalankan syariat Islam secara Quran Hadits yang murni serta berjamaah dalam mengamalkannya, tidak sendiri-sendiri. Tidak pintar sendiri. Tidak baca buku-buku atau googling-googling ilmu agama sendiri.

Dan ini lebih utamanya lagi adalah untuk seorang anak laki-laki.

Sejatinya, ketika anak mencapai masa pubertas, anak-anak kita kelak sudah menjadi orang dewasa dan perlu diperlakukan sebagai orang dewasa. 

Masalahnya, kurangnya konsep keTuhanan dan Alquran (bahkan cenderung tidak ada), hal inilah yang menjadikan anak belum dewasa setelah pubertas, menurut ahli-ahli pendidik Islam. Sehingga, masa pubertas dikenali sebagai masa-masa yang bergejolak bagi setiap manusia, masa-masa gap antara anak-anak dan dewasa sehingga sering menimbulkan badai stress, menurut teori storm and stress nya Stanley Hall (1904).

Padahal, kalau defaultnya manusia memang seperti itu, disekolah-sekolah menengah, sudah seharusnya anak-anak bermasalah menjadi mayoritas. Kenyataannya? Tidak. Mereka bagian dari minoritas yang mengalami gejolak dan stress di masa remaja. Menurut penulis buku The Myth of Adolescent, David A Black hal tersebut adalah bawaan dari masalah pengasuhan ketika kanak-kanak. 

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa, adalah ayah dan ibu sebagai penanggung jawab awal seorang anak dan penanggung jawab yang utama dengan menghadirkan Allah dalam pengasuhan dan Al Qur’an juga Al hadits sebagai 'makanan' keluarga sehari hari. Sehingga kehidupan anak-anak pasca pubertas sudah menjadi muslim sejati karena pondasi yang kuat yang ditanamkan sejak dini. Ketika mereka sadar dan bertanggung jawab atas masa pubertas/kedewasaannya, jadilah mereka muslim/muslimah sejati yang dengan pemikiran komprehensifnya dapat menjalani kehidupan dengan jauh lebih bertanggung jawab dan lebih baik lagi, dunia kecil bagi mereka karena Allah lah yang Maha Besar. 

Untuk sampai di titik itu, tentu saja kedua orang tua perlu jatuh bangun bekerja keras membangun pondasi akidah yang kuat serta berakar, dan utamanya peran ayah sebagai kepala madrasah keluarga.

PR amih abih, banyak, Biq.. Jadi anak sholeh yah. Uhuhu 
*tetiba melow sendiri* :'{

Jadi, nikah muda itu seru?

Bisa iya, bisa tidak.

Kalau sudah mampu, insyaAlloh seru. Kalau belum mampu, lebih banyak gak seru-nya daripada seru-nya.

Mampu-nya yang seperti apa, sih?

Ilmunya sudah belajar. Akidahnya sudah mantap. Dan terus dalam rangka memperbaiki diri. Belajar tentang ilmu pernikahan, Baiti Jannati, mengerti cara pandang pasangan itu mungkin berbeda karena jenis kelaminnya saja sudah berbeda, sedikit-sedikit tau tentang ilmu parenting, karena juga paham bahwa abis nikah itu resikonya hamil, maka sudah sedikit-sedikit tau tentang kehamilan, melahirkan, menyusui dan sebagainya. Gak harus hapal semuanya, tapi paling tidak kenal dengan dunia yang kelak akan ia tempuh. Yang terpenting adalah terus mengupgrade ilmu Quran dan Haditsnya.

Materi? 
Issshh. Matre.
Nggak, saya nggak bilang perlu nikah gede-gedean di gedung mevvah, tapi kan nikah di KUA aja harus bayar (Eh apa udah gratis sekarang? Wqwq). Paling nggak, udah punya penghasilan lah. Gak harus tetap, yang penting anak istri, tau nanti mau dikasih makan apa. Ya kan memang sudah menjadi kewajibannya suami, toh memberi nafkah keluarga? Jadi kalau belum mampu memberi nafkah, lebih baik puasa daripada memaksa anak gadis orang untuk hidup susah. Kecuali sang istri sudah bekerja dan rela mengeluarkan harta pribadinya untuk kesejahteraan keluarga, kelak. Lain cerita.

Kalau di umur 17 tahun seperti Alvin sudah mampu seperti diatas dan orangtua mereka sama-sama merestui, ya sok lah monggo. Insya Allah kalian tau akan dibawa kemana bahtera rumah tangga kalian tersebut.

Apakah saya akan mengizinkan Bibiq menikah muda?

Tergantung kondisinya nanti, kalau sudah mampu menurut standar saya dan abihnya sebagai orang tua, kenapa harus menunda-nunda?

Syaratnya, ya tetap di kami sebagai orang tuanya. Apakah sudah membekali hidupnya dengan Alquran dan Hadist serta keterampilan-keterampilan lain dengan cukup?


*

Udah lah kiranya, kapan-kapan posting lagi. And share your thoughts, anyway~
Wassalamualaikum!

 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon