Welcome to Digital Innovation


Lately, GoJek sedang gencar-gencarnya diperbincangkan di media sosial, menjadi artikel-artikel di koran konvensional. Hal itu menunjukkan bahwa GoJek sebenarnya sudah diterima masyarakat dengan cukup baik. 

Walaupun tetap ada pro-kontra didalam kisahnya, karena memulai sesuatu yang inovatif dan mendapatkan tempat di benak khalayak. Kini, pendapatan seorang tukang ojek yang meningkat drastis dikisahkan di berbagai media. 

Beritanya, jika mereka rajin mengambil orderan, tak tanggung-tanggung ya pendapatannya bisa mencapai belasan juta. Mengesankan sekali! Apakabar deh kita yang tunggang langgang kerja kantoran hihi. 

Nah, keajaiban Gojek itu nyatanya terletak pada kreativitas pendirinya, yes, Nadiem Makarim mengombinasikan social innovation, kekuatan teknologi aplikasi dan manajemen rantai. Lalu, teknik pengkombinasian ini menjadi dasar untuk sebuah terobosan inovasi dan usaha bisnis masa kini. 

Siapakah Nadiem Makarim? Pria muda asal Jakarta ini alumnus Harvard Business School (yang katanya sekolah bisnis terbaik di muka bumi :p). Berdasarkan gelar yang sudah ia capai, bukan hal yang sulit bagi Nadiem untuk melamar kerja di Wall Street dengan gaji puluhan ribu dollar per bulan. Tapi dia memilih pulang ke tanah airnya, lalu membangun bisnis yang memberdayakan kaum menengah ke bawah, dengan inovasi teknologi sosial. Memanfaatkan kekuatan aplikasi digital dengan maksimal

Tidak hanya itu, para pendiri Gojek dan para pengurus managementnya juga diisi oleh para alumnus sekolah bisnis terkemuka yang salah satunya ialah University of Chicago. Selain itu, mereka juga pernah bekerja di perusahaan-perusahaan kelas dunia.Maka dari itu, disisi kualitas, SDM yang mumpuni ini menjadi salah satu alasan bahwa Gojek setara dengan mutu SDM di perusaahaan top seperti Google, Microsoft ataupun IBM. 

Mereka, tidak bisa disangkal lagi, adalah bagian dari orang-orang berotak management terbaik di tanah air.So, perusahaan GOJEK ini sebenarnya perusahaan apa siichh? Gojek adalah perusahaan penyedia jasa transportasi (ojek -khususnya) yang dasarnya ada pada inovasi teknologi aplikasi.

Gojek dengan keajaiban aplikasinya yang dapat memotong masa tunggu (re: ngetem) abang ojek untuk mendapatkan penumpang, mengefisiensikan waktu yang dihabiskan oleh drivernya dengan sangat efektif, sehingga menghasilkan nominal yang cukup besar bagi para driver untuk satu hari kerja. Kesuksesan aplikasi tersebut dapat dilihat dari banyaknya calon pelanggan yang sudah mendownload aplikasi Gojek yang  sangat user friendly, sehingga memudahkan kita melakukan pemesanan order pengiriman (baik itu jasa antar orang, dokumen atau barang). Kemudian ribuan order itu, didistribusikan oleh perusahaan ke ribuan armadanya, yang berada pada titik paling dekat dengan calon konsumen, secara langsung, saat itu juga.

Dengan cara kerja seperti itu, produktivitas tukang ojek naik dengan sangat signifikan. Dan apa yang akan terjadi saat produktivitas naik secara dramatis? Well, yass income mereka juga bisa melompat ke nominal yang jauh tinggi. Betul, 10 juta perbulan. Luar biasa, bukan?

Menurut beberapa artikel, hal seperti ini mirip dengan prinsip legendaris perusahan-perusahaan hebat Jepang seperti Toyota, salah satunya. Ketika masa tunggu inventorynya bisa dibuat menjadi zero, maka pendapatan mereka dapat melesat cepat.

Gojek mungkin salah satu keluwesan inovasi sosial berbasis teknologi, yang berdampak positif bagi kaum menengah ke bawah. Jika salah satu tujuannya ialah mengentaskan kemiskinan, maka kekuatan sebuah aplikasi yang diolah dengan cerdas ini jauh lebih powerful daripada teriak-teriak di depan kantor DPR atau istana negara.

Tapi kenyataannya, inovasi sosial yang cerdas dari Gojek ini (maupun perusahaan lain) tidak semulus yang kita bayangkan, selalu ada tantangan maupun tekanan dari beberapa pihak. Saat ini, seperti yang kita tahu, bahwa Gojek neniliki dua tantangan yang bisa menghancurkan bisnisnya.

Apakah itu? Yang pertama adalah resistensi dari para tukang ojek pangkalan. Ini adalah gambaran yang menyedihkan dari proses inovasi teknologi, ketika kejeniusan ide dengan mudahnya akses yang kita dapatkan dengan teknologi harus berhadapan dengan kekuatan otot yang tidak bisa menerima proses kemajuan zaman.

Tantangan kedua yang juga bisa menggoyahkan bisnis Gojek datang dari rival yang tak mau kalah strategi, Grab Bike. Perusahaan dengan main business yang sama yang berasal dari pengusaha Malaysia. Dengan dukungan modal hingga 2.5 triliun, Grab Bike mengibarkan bendera perang. Mereka dengan sigap meluncurkan “predatory pricing war” : tarif promosi ojek Grab Bike hanya Rp 5 ribu kemana saja (tarif promosi Gojek 10 ribu, dan kini sudah naik ke 15 ribu).

Lalu, strategi mereka merambah ke penghasilan para drivernya. Grab Bike membuat perjanjian 90% upah dari total order untuk para armadanya, sementara Gojek hanya 80%. Tak tanggung-tanggung, Grab Bike juga memberikan program berangkat umroh kepada pengojeknya yang berprestasi.Apakah Gojek akan bisa mengatasi tantangan dari dua dimensi yang berbeda itu dengan sukses?

0 comments:

Post a Comment

 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon