Isi Kepala session 1

Saat itu saya juga pernah berpikir bahwa, apa sih orang-orang ini, terlalu mengejar dunia. Kepada mereka yang mengaji Al-quran dan Alhadist secara berjamaah namun, sangat giat mencari dunia. Well, hal ini sangatlah lumrah bagi saya yang tiga tahun terpenjara suci dalam sebuah lingkungan yang biasa disebut dengan pesantren. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk membentuk pribadi, pola pikir, karakter, attitude dan mengisi kekosongan ilmu pastinya. Banyak sekali manfaat yang saya dapat, dimana anak-anak lain seusia saya yang diluar lingkungan pesantren tersebut gak akan pernah dapatkan apa yang sudah saya dapat disini.

Pertama, mungkin saya akan bercerita sedikit tentang diri saya waktu masih duduk dibangku SMP. Saya bersekolah di SMPN 2 Depok. SMP Negeri favorit Depok. Yang ujian masuknya aja, katakanlah ‘naujubileh’. Anak-anak usia pelajar begitu membludak di Depok. Sekolahnya terbatas. Jadilah,sekolah favorit adalah ajang adu otak dari sekian ribu pendaftar. Disana saya hanya sebatas butiran debu *halah* :P yes, gak terkenal sama sekali. Yah, hanya cukup aktif, dikelas. Ikut organisasi pengurus kelas gitu maksudnya? Haha! masuk 10 besar di tiap semester, tapi bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Minder. Kuper-kurang pergaulan. Introvert. Pulang sekolah langsung pulang gapake nongkrong. Tertib. Taat peraturan sekolah, takut sih lebih tepatnya.hehehek. Tergolong anak yang sangat pintar, tidak. Jauh malah. Tergolong anak yang banyak prestasi juga tidak. Boro-boro berprestasi, ikut lomba pun gak pernah. Hanya anak-anak yang prestasinya masih terbilang lumayan, jika diantara 43-45 orang siswa dikelasnya. Saya lulus, tidak meninggalkan apa-apa. Bekas setitik penghargaan pun untuk SMP saya. Saya lulus, ya lulus saja, sudah. Punya beberapa teman akrab, tergantung kelasnya. Setiap semester kelas berubah. Setiap semester pula teman dekat saya berubah.

Kemudian, Gadingmangu, Jombang. Pesantren itu. Yang memberikan banyak manfaat untuk saya. Saya anak baru. Telat daftar. Baru masuk sekolah setelah sekolah sudah 2 minggu berjalan. Mudah saja saya menjadi terkenal, karena saya anak baru. Singkat cerita, saya aktif dikelas, saya berprestasi, saya pernah mendapat peringkat pertama. Senangnya bukan kepalang! Saya mulai aktif di organisasi. Saya sering ikut lomba. Saya menang lomba Mading, lomba debat antar kelas. Teman-teman saya orang-orang ‘keren’ pula. Saya …, dengan seluruh kerendahan hati saya, persilahkan saya mengatakan, saya pernah menjadi ‘bintang’ di SMA. Gak kenal saya? Wah, anda kurang gaul, bung. Hahahahaha. #okeskip.bukan itu pointnya, pointnya adalah pesantren sangat banyak membentuk pribadi, karakter, pola pikir, paradigma, keimanan saya sampai saat ini. Sangat bermanfaat, lebih dari sekedar menjadi ‘bintang’ saya banyak sekali belajar tentang kehidupan disana. .

Sekarang saya suka mencoba mengerti kenapa orang tersebut bersikap A, padahal menurut saya sebaiknya B ternyata karena latar belakang kepribadian, pola pikirnya. Saya mulai bisa menimbang-nimbang, apa yang akan dilakukan si introvert atau si extrovert kalau ada kejadian seperti ini. Karena saya pernah mengalami dua kepribadian tersebut. Apa yang akan dipikirkan oleh si ‘butiran debu’ dan si ‘bintang sekolah’ jika ada dalam posisi ini. Saya meraba-raba. Merasa tahu, walaupun mungkin tidak selalu tepat. Tapi saya merasa diri ini menjadi kaya karena semasa hidup saya pernah melewati dua fase tersebut. Saya akhirnya juga mengerti, kenapa orang-oranag jaman sekarang menganggap kesalahan besar, menjadi kecil. Atau sebaliknya, kesalahan kecil, menjadi sangat besar. Karena saya pernah tinggal di dua atmosfer yang berbeda, didalam pondok dan diluar pondok. Didalam, kesemua hal mengenai dosa menjadi terlihat sangat besar dan memalukan, amalan kecil menjadi terlihat besar, dan sekarang (diluar pondok) amalan besar pun, malah terlihat remeh. Memakai kerudung menutupi dada, contoh mudahnya. Itu amalan wajib. Tapi kemudian begitu remeh disini. Dikota saya sekarang tinggal. Dulu, jangankan remeh, menyelempangkan sedikit saja kain kerudung anda, anda akan di cap negative oleh hamper seluruh penghuni ponpes. Kejam sekali. Kemudian sekarang tinggal di luar pesantren, saya mengerti fenomena serta sebab-akibat yang terjadi di sekitar saya. Saya tidak mengklaim diri saya lebih tau dan lebih hebat. Saya hanya merasa, paradigma saya menjadi luas. Toleransi saya menjadi lebih besar, terhadap kesalahan, kesalahan setiap orang. Mereka punya alasan dan latar belakang kenapa mereka melakukan hal tersebut. Kesalahan tersebut tidak benar, bukan berarti saya membenarkan kesalahan tersebut, tetapi saya mulai bisa mengerti sebab apa orang-orang melakukan kesalahan atau tindak tanduk seperti itu, seperti itu. Dulu, mungkin hitam tetaplah hitam, putih tetaplah putih. Karena lingkungan mendukung untuk tetap menghitamkan si hitam. Dan memutihkan si putih. Sekarang, semua abu-abu. Ke-idealisme-an saya dahulu, dan (menurut saya) kekolot-an saya tentang cara berpikir dari doktrin-doktrin yang setiap hari diberikan mengenai akhirot lebih penting, (yang bahkan benar-benar menyepelekan urusan dunia, sekolah contohnya) membuat saya semakin antipati tentang semua hal yang berbau ‘mengejar dunia’. Seseram itu? Iya. Sesering itu di doktrin, bahkan di praktekkan, bahwa dunia tak lebih dari sebelah sayap nyamuk? Iya. Ada beberapa guru yang masih netral dan masih memberikan semangat bahwa dunia its still important, hey dude. How can you exist in this era, if you just doing nothing for your self. For this life. Yang mana kita tinggal, berteduh, menumpang di sini (dunia) untuk menabung amal agar bahagia di akhirot nanti. Dan menabung amal, butuh uang. Butuh potensi. Butuh ‘kecerdasan dunia’ untuk memperjuangkannya.

Kuliah, bekerja, saya semakin tumbuh. Semakin dewasa. Saya belajar lagi bahwa hidup, tidak selalu hitam dan tidak selalu putih. Tidak berarti saya membenarkan si hitam dan menyalahkan si putih. Tapi ketika hitam, maka mungkin sekali menjadi putih. Dan ketika putih, bukan tidak mungkin juga tanpa kecacatan si hitam. Dunia punya rahasia tentang pribadi setiap mahkluk yang tinggal di dalamnya. Saat ini anda berdosa, besok anda meleburnya dengan beristigfar. Sekarang anda beramal sholih sangat besar, besok lebur karena membicarakan orang lain. Ya, akhirnya dunia sekompleks itu. Serumit itu. Tidak semudah, anda berdosa karena anda blablabla. Anda termasuk golongan orang-orang shalih karena anda beramal blablabla. Tidak. Anda tidak mungkin tau amal dan dosa seseorang. Malaikatpun tidak memiliki garansi bahwa hitungannya akan tepat. Ada faktor hati, yang bisa membuat seseorang sombong dan berharap pujian. Atau tulus, mengharap ridhonya saja. Ada hati yang benar-benar bertaubat lagi takut. Dan karena hati pula, yang bertaubat demi mendapat ampunan-sejenak, dan berniat melakukannya kembali, karena menghapus dosanya sangatlah mudah. Manusia bisa saja menilaimu sangat baik, malaikat bisa saja kau tipu, tapi Alloh tak bisa kau curangi. Hati, hanya dia yang mengerti. Hati-hatilah terhadap hati. ia begitu cepat berubahnya, lebih cepat daripada air yang dimasak hingga mendidih.

Pemikiran kolot mengenai ‘mengejar dunia’ pun berubah. Dialah Papa yang terus mengajarkan aku tentang kehidupan. Bersyukur dengan sangat kepada Alloh, ditakdirkan menjadi seorang anak perempuan dari Bapak Irvaizal. Beliau mungkin tidak meninggalkan harta yang seberapa untuk anak-anaknya, beliau mungkin tidak menjanjikan kemewahan hidup untuk dijalani kemarin, saat ini dan nanti, tapi beliau mengajarkan aku tentang hidup. Tentang keseimbangan hidup. Tentang mengantisipasi hidup. Tentang menjalani kehidupan. Tentang bersyukur atas apa saja yang disajikan oleh kehidupan. Satu pesannya, “setiap orang punya jalur perjuangannya masing-masing. Tidak bisa si paspasan yang banyak ilmu menyuruh si kaya supaya terus mengaji yang sangat rajin diatas rata-rata orang sekitar, seperti si miskin. Si kaya mungkin Alloh kodar waktu longgarnya sedikit, tapi ia mampu bershodakoh yang besar, ya lakukan saja. Itu termasuk jalan perjuangan juga. Tidak bisa si pendiam menyuruh si aktif terus mengaji mengikuti peraturan yang ada, karena si aktif punya jalur perjuangan lain yakni membuat acara-acara yang ditujukan utk melestarikan Quran Hadist. Tapi tetap, dengan sesuai syariatnya. Sesuai perijinannya. System yang sudah ada tidak bisa dilanggar, tapi bisa disesuaikan dengan objek yang menjadi bagian dari system. Si kurang pintar tidak bisa menyuruh si pintar untuk melakukan sesuatu yang dibawah kualitas pemikirannya. Justru si pintar punya jalur perjuangan dari cara berpikirnya. Agama membutuhkannya. Semuanya, memiliki jalan perjuangannya masing-masing, amalan andalan masing-masing, termasuk kesalahan masing masing. Maka seimbanglah dunia. Seimbanglah jalan perjuangan. Seimbanglah kesalahan dengan amal baik. Seimbanglah kecerdasan dengan ke-kurang cerdas-an. Seimbanglah si kaya dengan si paspasan. Atmosfer dunia seimbang. Sinerjikan harmoni. Hindarkan perbedaan, atau malah memaksa sebuah kesamaan yang sejatinya semua makhluk itu sudah dicetak berbeda dari Penciptanya.

0 comments:

Post a Comment

 
Nadyavaizal's Blog Design by Ipietoon